“Kindness in words creates confidence. Kindness in thinking creates profoundness. Kindness in giving creates love.” ― Lao Tzu
Showing posts with label Literature. Show all posts
Showing posts with label Literature. Show all posts

October 14, 2014

Reinkarnasi / Lege Sang Iblis

     Tak pernah aku bayangkan bahwa aku bisa melihat Lege, gadis belia yang tinggal di sebelah rumahku, berbicara dengan sosok hitam yang membawa celurit. Kompleks tempat aku dan Lege tinggal berubah menjadi sangat gelap, bau busuk keluar dari tiap-tiap rumah yang berjejer.
     "Jack" namanya, mampu membawa Lege ke tempat paling indah yang tak mampu dijangkau orang-orang munafik pembawa dakwah.
     “Ayo, Lege,” kata Jack sambil mengayun-ayunkan celuritnya ke udara. Lege tersenyum, lalu memeluk Jack.
     “Mau pergi ke mana kamu, Jack?” tanya Lege dengan senyumnya yang naif. Aku hanya sempat berpikir bahwa tempat indah itu adalah surga, penuh dengan tanaman hias dan ikan-ikan kecil yang mengkilap terkena cahaya emas matahari. Jack tak menjawab. Ia tak pernah menjawab.
     Jack memberikan celuritnya kepada Lege. Tubuh Lege yang kecil terlihat begitu besar ketika celurit itu berada di tangannya. Diayunkan celurit itu ke leher Jack. Hanya dalam sekejap tubuh Jack berubah menjadi pasir hitam yang melayang-layang ke udara.
     Tak bersuara.
     Tak bernafas.
     Mati.
     Lege berpaling ke arahku.
     “Selamat datang, Kirana, di tempat para iblis berkumpul!”
     Aku tidak mengerti, tempat aku berdiri yang tadinya adalah kompleks, berubah hitam pekat. Aku berdiri di atas kekosongan yang hitam.
     “Tidak ada neraka yang lebih menyakitkan dari kehidupan di dunia! Orang-orang yang mati karena bunuh diri seperti dirimu, tak pantas berada di tempat indah ini! Kembali lah kamu ke bumi, Kirana!”
     Bunuh dirikah aku? Aku sudah lupa. Akan tetapi Lege tak segan hati menempelkan celuritnya di leherku. Ditebasnya leherku dan darah bertumpahan.

***

     Aku bangun sebagai bayi dari keluarga miskin yang suka mencuri. Satu-satunya makhluk yang tak mabuk di sekitarku hanyalah seekor anjing berwarna hitam dan memiliki sedikit corak putih berbentuk celurit. Anjing itu biasa dipukuli pemabuk. Aku juga dipukuli ayah dan ibu karena tak pernah berhenti menangis. Akan tetapi aku tidak pernah menyangka bahwa anjing itu bernama Jack dan aku bernama Kirana. Sedangkan Lege si gadis belia kembali sebagai penguasa setempat, musuh segala umat, koruptor negara, perempuan yang membuat rakyatnya sengsara. Ia biasa disebut "Lege Sang Iblis". Tak henti-hentinya bermain dengan nyawa manusia.



Senin, 29 September 2014
Flash Fiction Penulisan Kreatif

March 18, 2014

March 16, 2014

Sekarang Melaju, Tak Lagi Menghitung

Sekarang kita sudah di sini, Kawan. Kita tak lagi menghitung. Produksi Samsara sudah selesai. Perasaanku gamang. Dipaksa melupakan latihan tiap sore di FIB. Apakah aku akan bertahan, Kawan? Tentu. Aku punya waktu untuk melepas kegamangan. Tapi apakah waktu mampu? Waktu selalu mampu. Mari kita kembali ke berikut-berikutnya. Mencari kembali kesenangan ini. Terasa miris, seperti pengemis kesenangan. Tapi ini betul. Aku pengemis emosi. Mari kita sama-sama telanjang lebih dulu, agar tahu bahwa kita memang pengemis koplak.


Mengapa kita harus terus melaju? Bolehkah kita mati bersama-sama di puncak kesenangan? Aku tahu kamu mati, oleh karena itu: aku juga mati. Vice versa. Apa yang harus kuhitung setelah ini? Kesenangan baru? Keluh kesah baru? I'm here, John, that's why I'm asking. I'm crying, but I'm not mad nor sad. Mari, setelah ini kita kembali ke rutinitas anjing. Menjadi pendosa dalam hal lain. Ingatlah, Kawan, kita selalu punya tempat untuk kembali ke romansa waktu luang. Waktu untuk kita melakukan apapun.

Sungguh tidak dapat disadari, sekaligus dapat disadari mengapa Tuhan menciptakan akhir. "Aku ikhlas, tapi kecewa". Dan apakah akhir itu benar-benar akhir? Aku kira tidak. Mungkin kita justru kembali memulainya. Mengulangnya. Memakinya. Seperti Samsara. Aku akan menjadi Mr. Wonderful karya Daniel Clowes. Bodoh dengan akhir menyenangkan.

Mungkin kamu-kamu kurang mengerti apa yang saya coba sampaikan dalam tulisan ini. Tapi inilah perasaan acak setelah dua malam di Gedung Kesenian Jakarta selesai. Tak terbayangkan kemarin masih bisa tidur di ruang penuh poster kuno. Duduk di bangku penonton, melihat teman-teman setting di atas panggung mencoba ini-itu. Dirias di ruang make up. Menjadi tokoh dengan kostum jablay Thailand. Oke. Inilah yang nanti akan aku rindukan juga. Setelah semua selesai, rindu memang merindu. Aku tetap aku, tapi rindu juga terus merindu. Aku tidak dapat melakukan apa-apa selain mengenang.

Terima kasih teman-teman produksi Samsara. Semoga kita tetap bisa terbang sebagai burung dara.
Hayuk, kita after party.


Foto: Indraswari Pangestu, Pagi Buta

March 09, 2014

Hitung Mundur Menuju Samsara

Ada kalanya waktu luang harus diisi dengan pikiran. Kamu menatap lampu kamarmu di malam hari, "Apakah manusia masih harus bangun di dunia tanpa ancang-ancang untuk bangun di neraka? Apakah kita kacung kehidupan dan bersyukur untuk sekadar menjadi babu?". Mungkin memang itu esensi waktu luang. Kamu berpikir. Kamu sok tahu. Akan tetapi ada pula kalanya waktu luang harus diisi dengan kegiatan yang spontan kamu ikuti. Terjun ke jurang. Membunuh mantan pacar lalu membuang mayatnya di tol. Melakukan sesuatu yang tidak pernah kau lakukan. Saya pernah menari di romansa waktu luang. Bersama teman-teman, saya bernyanyi tentang pilu dunia tanpa maupun dengan rasa. Kamu menyanyikan "Rasa" dengan senyuman, kamu menipu dirimu sendiri. Kita masih bisa memakai topeng-topeng ini. Tapi apa kamu berani memakai topeng syukur, Kawan?


Mulai bulan Desember 2013, saya mengikuti sebuah produksi teater di kampus. Teater Pagupon, sebuah biro dari IKSI FIB UI hadir sebagai laboratorium teater untuk mahasiswa. Teater Pagupon mempersembahkan produksinya yang ke-89 berjudul Samsara. Saya akan bermain di sini (menjadi tokoh dalam pementasan). Beradu akting dengan senior-senior yang dengan sepenuh hati saya kagumi. Sungguh sangat kagum. Sampai-sampai menjadi beban. Lalu parahnya, kami dipaksa menari ala-ala Jawa yang katanya baru akan jago setelah 10 tahun rutin menari. Kami menari baru dari bulan Desember. Emosi yang kita dapatkan di sini begitu lucu. Miris. Sebelumnya saya pernah ikut produksi Bulan Bujur Sangkar, naskah Iwan Simatupang. Akan tetapi saya bernyanyi di sana. Menyanyikan dan kembali ke pilu.

Sungguh banyak emosi yang hadir lalu pergi selama saya menari di romansa waktu luang. Saya sudah merasakan bahagia, sedih, marah, letih berkepanjangan, dicurangi, direndahkan, ditinggikan. Semua terjadi di dalam intrik pementasan ini. Sungguh emosi apa yang bisa kamu tampung dalam waktu secepat ini? Teman-teman baru yang saya dapatkan di sini, menjadi teman yang mungkin tidak akan saya temukan lagi. Hanya sampai di pementasan ini. Kecuali jika nanti kita bertemu lagi di pementasan-pementasan berikutnya. Lalu emosi yang saya rasakan adalah rindu. Rindu jika kita tidak lagi bisa seperti ini. Memaki-maki, meludahi, menjadi pendosa. Kita berkenalan di Malang, kembali berkenalan di Jakarta. Mungkin kita akan berkenalan kembali di pementasan nanti.

5 hari lagi, Kawan. Apakah kamu tidak merasakan hal yang sama?


Foto: Anas Prambudi, Awan Sandi

December 30, 2013

Romansa Waktu Luang


Kala berbicara pada waktu,
"Aku menantimu sejak dulu"
Aku terlalu senang menunda lantunan lagu
kau menanti, duduk termangu

Yang satu datang dan yang lainnya pergi
nada turun ke bawah lalu mati

Semua berubah menjadi doa-doa yang tidak dapat dikabulkan
Pena berubah menjadi pecinta dan pecinta berubah menjadi abu
Lalu aku di sini, menyanyikan elegi "Romansa Waktu Luang"

Aku mungkin akan membenci diriku sendiri
Ketika aku berubah menakutkan, apakah kau akan tetap melihatku di sini?
Menonton orang yang berubah menjadi pendosa
lupa bahwa Tuhan pemilik asa

Apa kau akan menari di atas pecahan kaca?
Atau menangis di antara bunga-bunga?
Lalu aku di sini, menyanyikan elegi "Romansa Waktu Luang"

May 21, 2013

Dicampur

Aku cuma seorang kapiten dengan baju badut
Sialan! Diriku mabuk peranan sedangkan daun-daun melamun
Alangkah pongah asaku mengaku dewa
Di mana letak retaknya jantungku


Padahal tomat-tomat dilumat ulat dan burung bertarung
Babilonia bukanlah tempat ibadat untukku
Tetapi, ya, di sini aku tantang dirimu mencium jambu tirani


Ha! Hahaha matamu menjadi buta ketika diriku membuka pintu
Dan alasnya menganyam warna-warna gerhana


Berkah adalah persamaan
di mana dewa-dewi meladeni pengantar ruh
dan teman surat.





Hasil adu-aduan pikiran Indras dan Rizky





Related posts:
Jumper

May 18, 2013

Kata Crius dalam Saya

Ah, hakimku, apakah adil untukku membicarakan ketidakadilan? Aku begitu sering membanding-bandingkan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya. Melihat kekuranganku dari perbandingan-perbandingan itu. Menjadikan perbandingan sebagai kekuatan, untuk menjadi seperti matahari, seperti bulan, seperti gunung. Mudah-mudahan aku kurang melakukan manusia dengan manusia. Sungguh menjadi sangat rendah setelah aku melakukannya. Apa dayaku? Adilkah untukku membicarakan ketidakadilan? Si "kekayaan" ini begitu menyenangi kepura-puraan, penipuan. Ah, betapa ia melukai irama dan ilalang. Pilih kasih babi. Aku akan menyombongkan keberhasilanku jika aku berhasil membuat si sombong menjadi tidak sombong atas peranan itu. Betapa bumi hanyalah bingkai saat bulan tidak ada, dan bulan adalah bingkai saat bumi tidak ada. Satu per satu kami adalah bingkai, kemudian kami menjadi lukisan. Tapi, teman besarku, kau tidak menyadarinya. Aku pun sakit pada bagian dada. Karena sungguh tidak adil untukku membandingkan kamu dengan manusia lainnya, tapi hal ini seperti kacang. Seperti tanggalan tahun kabisat.

KATA CRIUS
Tanyakan kenapa Tuhan begitu ilmiah
Begitu abstrak
Nyata
Tanyakan itu kepada daun

Sebagaimana ia memasukkan bangau ke dalamnya
Gemulai
Sombong
Karena awan tak berwujud itu sederhana

Kalimat-kalimatnya sederhana
Sesederhana derajat langit yang beruntung pada keindahan
Besar
Berwibawa

Dalam saya

Sungguh indah kata-kata sederhana itu
Maknanya sebesar Tuhan
Seputih mani
Lelaki sombong menyapa keluguan

Kepura-puraan dengan hujatan anjing menderu-deru
Karena wanita hanya menunggu
untuk ditelanjangi keluguannya
egois dalam egois dalam egois



March 10, 2013

Kematian?


     Aku kira kematian adalah hal yang biasa. Orang bilang jika kita terus melakukan atau merasakan hal yang sama, kita akan terbiasa dan pada waktunya kita akan bosan. Aku tidak pernah terbiasa dengan kematian. Ini ketiga kalinya aku merasakan kematian tapi setiap kalinya sungguh menyakitkan.
     Sejak ayah kandungku meninggal, kakak dan ibuku tinggal di Jakarta, meninggalkanku di desa bersama kakek dan nenek. Saat itu aku kurang mengerti arti dari kematian karena aku baru kelas 5 SD. Satu-satunya hal yang aku mengerti adalah ibu menjadi tulang punggung keluarga. Ia rela membanting tulang untukku dan kakakku. Syukur jika penghasilannya juga dapat diberikan kepada kakek dan nenek. Aku dapat merasakan pilu ibu. Mungkinkah kematian adalah pilu?
     Setelah kakek dan nenekku meninggal, aku pun pindah ke Jakarta. Kupikir keluarga kami akan kembali bersatu setelah sekian lama tidak bertemu, tapi tampaknya kematian juga telah mempengaruhi kakak. Ia tidak dapat menanggapi kematian dengan baik. Ia kira kematian itu hanya dialaminya sendiri dan ia mulai tidak menghargai ibu. Segala masalah yang ia buat selalu dimulai dari kematian kakek dan nenek. Seperti ia merasa tidak dicintai lagi sebagaimana kakek dan nenek mencintainya, atau ia merasakan kesepian yang mendalam setelah kakek dan nenek pergi. Karena muak, akhirnya kakak pergi dari rumah untuk menikah dengan pacarnya. Ibu pun menikah lagi. Setelah semua orang menikah aku berpikir, bukankah di ujung pernikahan akan ada sesuatu yang terlahir? Entah itu hubungan erat ataupun seorang anak bayi. Aku sungguh rela bila kematian melahirkan lebih banyak orang seperti ibu. Seseorang yang menciptakan kebahagiaan di dunia. Apakah kematian juga berarti natalis?
     Kakakku menjalankan hukuman dalam pernikahannya. Setelah satu tahun menikah, ia pun menceraikan suaminya. Sedangkan ayah tiriku mengalami kematian pula. Padahal ayah tiriku adalah seseorang yang baik hatinya. Dalam hal ini, kematian benar-benar berarti perpisahan. Aku dan ibu benar-benar merasa kehilangan, tapi mungkin ibu yang tahu benar akan rasa sakit itu.
     Sungguh banyak arti dari kematian. Ini dan itu, selalu menyakitkan tetapi aku tidak pernah tahu arti yang sebenarnya. Bagaimana jika kematian adalah ibu? Apakah aku akan tetap mencintai ibu? Jika aku harus mencintai kematian karena kematian adalah ibu maka cintalah aku pada kematian.
     Ada dua hal yang dapat aku lakukan sebagai pecinta kematian. Pertama adalah melihat orang mati sebanyak-banyaknya dan menyelamati mereka atas kematiannya. Kedua, aku dapat menyapa kematian itu sendiri sebagaimana kematian telah menyapa ayah kandungku, kakek dan nenekku, serta ayah tiriku. Namun aku tidak akan pernah membiarkan kematian menyapa ibu lebih dulu, aku tidak ingin kehilangan ibu. Karena itu, alangkah baiknya jika aku sekarang menyapa kematian layaknya teman lama. Aku mencintai kematian.

December 10, 2012

Kebanggaan

Untuk semua penghujat dan yang acuh akan penghujat.

Termasuk diriku.




Alas tempat aku berpijak berwarna hijau pudar dan terasa dingin. Dinding ruangan yang berwarna hitam kelam juga memancarkan hawa dingin. Tempat ini seakan tidak memiliki ujung, bahkan jika sampai ke ujung, aku kira ujungnya adalah jurang. Jutaan makhluk hidup singgah di sini. Kami semua telanjang dan beberapa dari kami menari-nari. Kami berada di sini menunggu sesuatu.

Aku sempat mengobrol dengan beberapa orang. Salah satunya adalah pria tambun yang mengenakan dasi di atas ketelanjangannya. Ia sungguh bangga akan prestasi-prestasinya dan terus membicarakannya. Katanya ia adalah penguasa dunia. Ia memerintah manusia-manusia lainnya dan dibayar untuk hal itu. Aku rasa itu adalah hal paling bodoh yang bisa dibanggakan seseorang. Tuhan pun sekiranya tidak membutuhkan bayaran atas perintahnya. Lalu aku mengobrol dengan beberapa mawar. Mereka juga bangga akan diri mereka. Sebagaimana rupa dan wangi mereka dielu-elukan manusia. Ini juga hal yang bodoh menurutku. Aku tidak pernah ingin dielu-elukan manusia yang mengaku bahwa diri mereka kotor dan bau. Kasihan mawar yang tertipu daya manusia.

"Berdirilah sesuai dengan jenis kalian!".

Aku sedikit terperanjat. Akhirnya suara yang kami nantikan muncul juga. Kewibawaan suara itu persis dengan apa yang aku bayangkan selama ini. Menggetarkan hati sebagian besar dari kami. Kami mulai berbaris mengikuti alur. Aku pun pergi mengikuti alur, alur manusia. Aku tidak tahu akan perasaan, tetapi aku merasa malu berada pada barisan manusia. Aku merasa rendah.

"Mulailah perkenalkan diri kalian!".

Secara satu persatu kami memperkenalkan diri. Anjing mendapatkan giliran paling pertama.

"Kami adalah Anjing, kami bangga dengan diri kami!", kata seekor anjing jenis Malamut. Ia sekilas terlihat seperti serigala. Suaranya terdengar begitu bijaksana, tidak heran ia menjadi perwakilan para anjing. Makhluk-makhluk lain hanya bisa mendengarkan ia berbicara.

"Kami selalu waspada di malam hari dan menjadi sahabat di siang hari. Kami memakan sisa-sisa makanan manusia dan berburu untuk mereka. Tetapi imbalan yang kami dapatkan adalah hujatan!".

Hening.

"Jika kami boleh memberikan pertanyaan kepada manusia; seberapa banyakkah kau menghujat satu sama lain atas nama kami?

Apakah kami lebih rendah dari kalian yang jelas-jelas tidak menghargai jenis kalian sendiri?

Setelah semua kesetiaan yang kami beri, kami menjadi hujatan".

Manusia hanya bisa terdiam. Beberapa binatang lainnya membenarkan pernyataan itu, terutama babi dan monyet.

Para penghujat menjadi kalap. Mereka seakan baru menyadarinya. Kepanikan pun beralasan, mereka mulai menggonggong dan mengais-ngais alas untuk tulang. Hanya saja, kali ini bukan tulang yang mereka kubur, melainkan diri mereka sendiri. Mereka menggonggong dari dalam tanah, memohon untuk dibebaskan. Sebagaimana pinta anjing untuk dibebaskan dari hujatan.

"Kami akan berbicara di urutan kedua!", kata Tikus.

"Kami adalah Tikus, kami bangga dengan diri kami!  Kami adalah teman untuk beberapa dari kalian. Kami bertahan hidup dari manusia yang kotor dan jorok.

Tetapi imbalan yang kami dapatkan adalah hujatan.

Jika kami boleh memberikan pertanyaan kepada manusia; apakah kami pernah mengambil diri kalian yang utuh?

Apakah kami lebih rendah dari kalian yang jelas-jelas mencuri dari sesama dan bangga akan hal itu?

Setelah hidup dari sisa-sisa kalian, kami menjadi hujatan untuk koruptor!".

Beberapa manusia terlihat panik. Termasuk pria tambun yang berbicara denganku sebelum drama ini terjadi.

Mereka mulai mendecit, bukan hanya koruptor, tetapi penghujatnya juga. Para koruptor yang mendecit tercekik dasi mereka sendiri. Penghujatnya memakan sampah. Manusia telah menjadikan diri mereka sendiri kotor. Mereka mendecit dan memohon untuk dibebaskan. Sebagaimana pinta tikus untuk dibebaskan dari hujatan koruptor.

"Aku adalah bagian dari manusia.

Selama ini aku tidak pernah menghargai bagian-bagian diriku dan terus menghujat atas nama kalian.

Kami lebih rendah dari anjing, babi, monyet, dan tikus. Aku tidak pernah bangga akan hal itu, tetapi pada akhirnya aku juga tidak dapat dinilai secara individu karena pasalnya kami adalah sama.

Maka semua bangsawan adalah penghujat, semua anak adalah penghujat, dan semua rohaniwan adalah penghujat. Karena kami adalah sama. Acuh akan hal itu, membiarkan bagian-bagian diri kami menjadi penghujat.

Kami pun sulit untuk menjadi kesatuan.

Ya, kami tidak pernah bangga dengan diri kami.".

November 23, 2012

Coretan Bulan Juli


Coretan Bulan Juli

Hidupku ini penuh dengan gejolak amarah
Dan mutiara laut biru.
Keduanya menjebakku
Pada hitam-putih kehidupan.

Tintaku menunjukkan jalan yang kabur
Dan jalan penuh kebencian.
Salah satunya menuntunku
Kepada mimpi yang abadi.

Karena di balik kemauan
Selalu
Ada harga
Yang perlu dibayarkan.

August 16, 2012

Penghuni Rumah Kayu

aku melihat dari balik jendela rumahku. melihat rumah kayu yang penuh dengan debu. rumah tua, setua kakekku. masih berdiri tegak dan menyambut indahnya pagi. betapa hebatnya dia, ketika manusia hilang ditelan dunia, ia berdiri di sana, seakan dunia adalah hal yang mudah.

     aku melihat dari balik jendela rumahku. seorang anak belia, kira-kira berumur sama denganku, 10 tahun. anak laki-laki berrambut hitam seperti tinta, bermuka kotor penuh dengan cat. tangannya gemetar memegang kuas. sudah berjam-jam kulihat ia duduk di atas kursinya yang reot, melukis alam. ia tersenyum dari balik jendelanya yang kotor. menatapku yang menatapnya, kubalas senyuman itu. lalu ia kembali melukis alam. hilang pada fantasinya.

     aku menyambut pagi bersama teman-temanku. bermain dengan alam, dan bercengkrama di bawah langit. pepohonan memancarkan bias keemasan, embun pagi menerpa wajah-wajah muda kami. teman-temanku tertawa lepas, bermain seperti layaknya anak angin. tapi anak tinta tidak ada di sana. ia tidak pernah ada di sana bersama kami. kami adalah anak paling bahagia di dunia, namun tidak pernah berani untuk datang ke rumah kayu. gunjingan tentang rumah itu terlalu seram untuk diceritakan kepada kami yang masih belia. kematian, hantu, pembunuhan, tidak jarang disebut-sebut bersamaan dengan rumah kayu itu. dunia telah membuat rumah kayu itu mati akan pandangan. dunia telah membuat anak tinta, si penghuni rumah kayu, hilang dalam keganjilan.

     sungguh disayangkan menurutku. aku yang selalu melihat anak tinta dari balik jendelaku tentu tahu apa yang selalu ia perbuat. melukis, dan mengurus ibunya yang gila. lukisannya selalu penuh dengan warna. sangat berbeda dengan rumah kayunya yang gelap dan mati akan impian. aku senang melihatnya melukis. seperti melukis mimpi. melukis jutaan mimpi. tidak jarang ia memergokiku yang selalu menatap dirinya. tapi ia selalu tersenyum akan hal itu. tidak pernah merasa terganggu. tidak pernah merasa malu.

     ia adalah anak yang baik, kurasa. anak seumuran kami selalu bermain dan melihat indahnya dunia. mengenyam pendidikan, dan piknik bersama keluarga. tapi anak tinta selalu berada di rumah kayu, menemani ibunya. terkadang kulihat mereka tertawa bersama. ia tidak dapat meninggalkan ibunya. meninggalkan ibunya yang akan mati karena kegilaannya itu. anak tinta yang penuh dengan impian mengurung mimpinya untuk seorang yang paling ia cintai. kamu sungguh tegar melawan arus hidup, aku tidak yakin kamu adalah manusia, anak tinta. kamu pasti suatu dewa yang abadi.

-----

     aku melihat dari balik jendela rumahku. anak tinta yang tidak pernah lelap pada malam hari. ketika pantulan cahaya bulan menyapa kami yang tertidur, ia keluar rumah untuk duduk di atas rerumputan. rerumputan di pekarangan rumahnya sungguh tinggi. tidak pernah ada yang mengurusnya, tidak jelas bentuknya. aku sendiri yakin, kalau aku yang pendek ini bisa tenggelam dalam laut rerumputan itu. lalu ibuku akan histeris melihat mayatku yang mati kelaparan karena tidak dapat keluar dari rerumputan. tidak ada yang salah dengan imajinasiku. anak tinta hanya perlu merapikan pekarangan rumahnya.

     malam ini anak tinta memandang berjuta-juta bintang dengan penuh rasa kagum seperti biasanya. terkadang ia akan tertidur sampai pagi di atas rerumputan itu, terkadang juga ia kembali masuk ke dalam rumah kayunya untuk mencegah ibunya membenturkan kepala ke pondasi rumah. namun kali ini, sepertinya ia akan tertidur sampai pagi di atas rerumputan. ibunya sudah terlelap tidur di kamarnya. tertidur di bawah lukisan alam yang penuh dengan impian.

     mata anak tinta berbinar-binar melihat angkasa, tubuhnya menggigil karena dinginnya malam, tangannya mencabut-cabuti rerumputan sampai ke akar-akarnya. lalu ia mencibir. pelan, pelan, pelan, lalu lama-lama menjadi keras. "aku akan segera mati", kudengar. tidak ada jarak antara dia, pagar rumahku, dan kamarku. apa yang ia katakan terdengar jelas. "aku akan segera mati", ulangnya. aku takut mendengarnya. ia tertawa kecil memeluk dirinya. apa ia tertular kegilaan ibunya? apa jutaan mimpi lukisan terkubur dalam kegilaan? aku takut. aku berlari keluar kamarku, menaiki anak tangga,  melewati kamar kakak-kakakku, melewati kamar mandi yang meneteskan air, dan akhirnya masuk ke dalam kamar orang tuaku. "ada apa?", tanya ibuku. ibu paling cantik di dunia. "tidak ada apa-apa", jawabku bohong. namun aku menangis. aku tidak mengerti mengapa aku menangis. ibu memelukku, mengizinkanku untuk tidur di kamarnya malam ini. mengajakku melupakan apa yang telah aku saksikan. hal yang terlalu sulit untuk aku pahami.

     sepanjang malam aku memikirkannya. apakah benar yang baru saja kudengar? anak tinta akan mati? aku mengintip-intip dari jendela lantai dua, kamar orang tuaku. anak tinta masih ada di sana. menatap keindahan angkasa. ia tersenyum, menit berikutnya ia menangis, lalu tersenyum lagi. ia terlihat begitu lelah, namun di saat yang bersamaan, begitu bebas. aku kagum dan prihatin kepada anak itu. mimpi-mimpinya pasti begitu indah. dirinya sendiri begitu indah. aku akan terus mendukungmu anak tinta, kamu tidak boleh mati. aku mendukung dari balik jendela rumahku, dan aku pikir kamu dewa yang abadi. aku mendukungmu untuk meraih mimpi-mimpimu. mimpi yang penuh warna itu.

-----

     berhari-hari aku melihat dari balik jendela rumahku. anak tinta duduk di atas kursi reot, melukis di kamarnya. ia tidak pernah keluar lagi setelah malam itu. ia selalu melukis, membelakangi rumahku. aku tidak dapat memandang wajahnya yang selalu tersenyum ketika melukis. ya, ia membelakangi rumahku. tidak yakin aku harus sedih atau bagaimana. yang jelas, aku rindu akan dirinya. rindu akan senyuman anak tinta. rindu melihat matanya yang berbinar-binar menatap langit. rindu untuk melihat lukisannya yang penuh impian.

     aku terbiasa akan hilangnya anak tinta. kubiarkan ia hilang dalam fantasinya. kubiarkan ia melukis, dan aku melanjutkan hidupku.

-----

     suatu sore yang hening, aku pulang dari sekolah bersama teman-temanku. kami melewati rumah kayu. ia masih berdiri tegak di sana. elok dengan latar belakang langit keemasan. burung-burung terbang dan hinggap di atap rumah itu. pemandangan yang indah. namun, kaget melihatnya, seorang wanita kurus kering keluar dari rumah kayu itu. ia mengenakan gaun malam berwarna putih. berbicara kepada dirinya sendiri, berbicara kepada langit dan bumi, berteriak kepada pepohonan. tidak salah lagi, ini pasti ibu anak tinta. kami terdiam melihatnya. para tetangga yang penasaran juga keluar dari dalam rumah untuk menyaksikan kejadian ganjil ini. wanita itu tidak pernah keluar dari rumahnya. anak tinta selalu menyembunyikan ibunya.

     ia memanggil Tuhan dan Iblis. menari bersama angin. terjatuh bersama hidupnya. lalu ia membakar dirinya sendiri. dimana anak tinta berada? ibunya yang gila keluar menuju dunia, dan ia tidak mencegahnya. wanita itu merasa perkasa, ia menantang langit. menantang rerumputan. dan bara api terus menyala. rambutnya yang hitam terbakar merah layaknya daun gugur. tubuhnya yang kurus kering menahan panasnya api. gaun malamnya yang indah menghilang menjadi debu. ia menatapku layaknya Iblis. matanya terbelalak menahan rasa sakit. bukan rasa sakit yang panas dan membakar. namun rasa sakit yang terkubur pada dirinya. lalu ia bersumpah akan kematian dan kerasnya kehidupan. dan lagi, seperti Iblis, ia tertawa dalam bara api.

     tetangga-tetanggaku terburu-buru menyelamatkannya. kemudian air membasahi dirinya, ia terjatuh kelelahan. selamat. ia baik-baik saja, namun dengan luka bakar. paling tidak, ia tidak mati. dan hilang rasa sakit pada wajahnya. kosong.

     wanita itu mulai menangis. memohon agar Iblis segera memenggal kepalanya. kami terdiam. membiarkan kesunyian mengambil alih segalanya.

     namun aku tidak mempunyai waktu untuk diam. aku berlari melewati rumah kayu dan tetangga-tetanggaku. aku masuk ke dalam rumahku, menendang pintu kamarku dan membuat boneka-bonekaku jatuh ke lantai, aku melakukannya hanya untuk melihat rumah kayu dari balik jendela. kulihat jendela kotor itu. anak tinta masih di sana. duduk di atas kursi reot, melukis membelakangi rumahku. ini sungguh aneh, terlalu aneh untuk diriku. janggal.

-----

    anak tinta sudah mati. ia tidak dapat mencegah ibunya keluar dari rumah kayu. ia sudah mati.

    sungguh ramai sore itu. pemandangan yang tidak biasa. hariku terbiasa hening. namun ramai di kala itu. ambulans dan mobil polisi berdatangan ke rumah kayu. ibu si anak tinta yang gila dan terluka segera diberikan pertolongan dan dibawa ke rumah sakit jiwa. sudah tidak ada lagi yang dapat mengurusnya. ia berteriak-teriak kepada langit, berkata ia melihat anak tinta di angkasa, bermain bersama awan. aku percaya akan hal itu. percaya sepenuh hati. anak tinta pasti sedang bermain bersama awan. menertawakan manusia yang sempit pikiran dan gemar bergunjing.

     mayat anak tinta dibawa keluar. ia sudah mati. anak tinta mati saat melukis membelakangi rumahku. apa yang kulihat dari balik jendela kamarku adalah kerangka anak tinta. ia mati di atas impian-impiannya.

     berpuluh-puluh lukisan alam dibawa keluar. rumah kayu dikosongkan. ia kehilangan penghuninya. hilang selamanya.

     habis sudah cerita tentang penghuni rumah kayu. yang satu hilang akan kerasnya dunia, terpuruk dan tidak tidak dapat bangkit kembali. yang satu hilang pada impian, membiarkan mimpi-mimpinya terbang di angkasa, tertidur selamanya.

     namun untukku, salah satu dari mereka adalah pelukis terhebat sepanjang masa, lebih hebat dari pelukis ternama. seorang teman dekat, lebih dekat dari tulang dan kulitku. dan seorang penjaga impian, menjaga mimpiku supaya tidak mati seperti mimpinya. ya, yang kumaksud adalah kamu, anak tinta.

"aku bermimpi untuk kupendam. aku mewarnai duniaku dengan mimpi. aku mencintai orang mati. orang mati membuatku mati. lelah aku akan kehidupan. meninggalkan warna-warna dan jutaan bintang."