“Kindness in words creates confidence. Kindness in thinking creates profoundness. Kindness in giving creates love.” ― Lao Tzu

July 26, 2015

JEZEBEL

RATU ISRAEL DAN JUDAH KUNO YANG ABADI:
PENAFSIRAN CERPEN “JEZEBEL” KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA DENGAN PEMAHAMAN HERMENEUTIKA DILTHEY[1]
oleh
Indraswari Pangestu (1206268150)

Hermeneutika—seperti yang dikatakan Palmer (1969) dan dikutip oleh Abdul Hadi W.M. dalam bukunya yang berjudul Hermeneutika Sastra Barat dan Timur (2014)—adalah teori penafsiran berkenaan dengan permasalahan umum dalam memahami makna teks. Adapun, Mircea Eliade, dalam The Encyclopedia of Religion (1993), mengartikan hermeneutika sebagai seni menafsir yang di dalamnya terdapat tiga komponen penting yang tidak dapat dipisahkan, yaitu teks, penafsir, dan pembaca. Dapat disimpulkan bahwa hermeneutika adalah penafsiran sebuah karya yang terkait dengan makna teks dan permasalahan umum.
Istilah hermeneutika pertama kali diperkenalkan oleh Homerus, tetapi kemudian dipopulerkan oleh Plato dalam bukunya yang berjudul Politikos, Definitione, Ion, dan Timaeus[2]. Plato juga mengaitkan hermeneutika dengan spiritualitas sehingga sebuah teks dapat terhubung dengan asas metafisika. Dalam esai ini, penulis membahas tentang penafsiran cerpen “Jezebel” (1999) karya Seno Gumira Ajidarma yang dikaitkan dengan kepercayaan spiritual bangsa Israel dan Judah Kuno. Penafsiran tersebut dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip hermeneutika dari Wilhelm Dilthey (1957).
Ilmu hermeneutika berkembang pesat pada abad ke-19 saat Dilthey menguraikan pemikirannya tentang penafsiran terhadap sebuah teks. Menurutnya, untuk menafsirkan sebuah teks, seseorang harus mengikuti tiga tahapan penerapan hermeneutika, yaitu (1) pengumpulan, pemilihan, dan penafsiran data, (2) penelitian sejarah atau kesejarahan teks, serta (3) penyelesaian lingkaran hermeneutik pemahaman[3]. Ketiga prinsip hermeneutika tersebut dapat digunakan untuk menafsirkan cerpen “Jezebel” karya Seno Gumira Ajidarma yang dikaitkan dengan keadaan historis dan kepercayaan bangsa Israel dan Judah Kuno.
Cerpen “Jezebel” adalah salah satu cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang tergabung dalam antologi cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku (2002). Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan di Jakarta oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama. Terdapat sebelas cerpen di dalam antologi tersebut, termasuk “Jezebel” yang dituliskan Seno Gumira Ajidarma pada tahun 1999. Kesebelas cerpen yang terdapat dalam antologi tersebut memiliki latar tempat pantai dan laut, serta latar waktu senja. Cerpen “Jezebel” pun bercerita tentang seorang perempuan bernama Jezebel yang berjalan di tepi pantai pada waktu senja. Seno Gumira Ajidarma menuliskan bahwa cerpen tersebut dikembangkan dari dua buah lagu yang berjudul “Jezebel”, masing-masing dinyanyikan oleh Edith Piaf dan Sade Adu[4].
Tuti Kusniarti, dalam artikelnya yang berjudul “Teks Sastra sebagai Media Komunikasi Antarbangsa (Kajian atas Novel Dari Fontenay ke Magallianes Karya N.H. Dini)” (2010), menyatakan bahwa makna karya sastra tidak bersifat tunggal, tetapi multi-interpretasi yang akan mengungkapkan berbagai dimensi kekayaan teks yang bersangkutan. Hal tersebut mendukung penulis untuk menafsirkan sebuah karya sastra. Dengan demikian, penulis dapat memenuhi kaidah pertama hermeneutika Dilthey, yaitu pengumpulan, pemilihan, dan penafsiran data. Data—seperti yang telah diuraikan di atas—diambil dari cerpen Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Jezebel”. Dalam hal ini, cerpen tersebut dapat ditafsirkan sebagai sebuah karya sastra yang menceritakan penggambaran hari akhir atau kiamat. Selain itu, cerpen tersebut juga ditafsirkan sebagai sindiran terhadap suatu kepercayaan dan juga sindiran terhadap jenis karya sastra eksperimentasi yang populer pada tahun 1970-an. Kedua penafsiran tersebut didukung dengan data tambahan berupa terjemahan New Testament, Book of Revelations dalam Kitab Injil, terjemahan surat “Al-Qariah” dalam Kitab Quran, terjemahan lagu berjudul “Jezebel” karya Edith Piaf, terjemahan Book of Kings bangsa Israel dan Judah Kuno, serta artikel-artikel mengenai keadaan jenis sastra eksperimentasi dan Indonesia. Pengumpulan tambahan data tersebut dilakukan untuk mendukung analisis penafsiran terhadap teks. Setelah pengumpulan, pemilihan, dan penafsiran data selesai dilakukan, hal yang dapat dilakukan berikutnya adalah menganalisis kesejarahan teks.
Penafsiran mengenai penggambaran hari akhir atau kiamat dan sindiran terhadap kepercayaan atau ekspremintasi tidak dilakukan tanpa pendukung. Kajian pustaka historis dilakukan untuk mendukung penafsiran agar bersifat objektif. Tafsiran penggambaran hari akhir atau kiamat dalam cerpen “Jezebel” karya Seno Gumira Ajidarma didukung oleh terjemahan New Testament, Book of Revelations dalam Kitab Injil dan terjemahan surat “Al-Qariah” dalam Kitab Quran.
Dalam cerpen “Jezebel” tidak disebutkan bahwa latar tempat dan waktu menggambarkan keadaan hari akhir. Akan tetapi, deskripsi Seno Gumira Ajidarma memiliki kemiripan dengan deskripsi hari akhir yang terdapat dalam Kitab Injil dan Kitab Quran. Cerpen “Jezebel” dibuka dengan kalimat sebagai berikut.
Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana sepanjang pantai itu [...] Berpuluh-puluh mayat, beratus-ratus mayat, beribu-ribu mayat menghampar tak terbilang disiram ombak yang berdebur dan menghempas dengan ganas bagai membantingkan sebuah pesan yang paling kejam dan paling tak mengenal belas.
Deskripsi naratif tersebut memiliki kemiripan dengan ayat keempat surat “Al-Qariah”. الْمَبْثُوثِ كَالْفَرَاشِ النَّاسُ يَكُونُ يَوْمَ (101:4) ‘pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran’[5]. Selain itu, keadaan dalam cerpen juga memiliki kemiripan dengan ayat ketiga bab keenam belas Book of Revelation. And the second angel poured out his vial upon the sea; and it became as the blood of a dead (man): and every living soul died in the sea[6] (16:3) ‘dan malaikat kedua menuangkan botol kecilnya ke laut; dan hal tersebut menjadikan laut seperti darah mayat: dan setiap jiwa yang hidup lalu mati di laut’.
            Keadaan mayat dalam cerpen “Jezebel” karya Seno Gumira Ajidarma seperti menggambarkan keadaan manusia saat kiamat yang terdapat Kitab Quran dan Kitab Injil. Mayat-mayat yang bergelimpangan di sepanjang pantai adalah manusia yang bertebaran seperti anai-anai. Adapun mayat yang dihempas ombak dengan ganas adalah dampak dari malaikat yang menuangkan botol kecilnya dan menyebabkan kematian di laut. Cerpen “Jezebel” karya Seno Gumira Ajidarma menggambarkan keadaan hari akhir yang diadaptasi dari kitab-kitab.
            Penafsiran berikutnya—tentang sindiran terhadap suatu kepercayaan—didukung dengan adanya Book of Kings bangsa Israel dan Judah Kuno. Dalam Book of Kings diceritakan bahwa perempuan bernama Jezebel adalah istri dari Ahab, Raja Israel Utara[7]. Menurut kepercayaan bangsa Israel dan Judah Kuno, Ratu Jezebel menghasut Raja Ahab untuk berpaling dari Yahweh, Tuhan mereka di kala itu, untuk menyembah Baal yang—dalam New Testament (Perjanjian Baru)—lebih dikenal sebagai Beelzebub sang Iblis[8]. Jezebel lalu menganiaya nabi-nabi Yahweh dan menyebabkan kematian seorang pemilik tanah yang tidak ingin menjual tanahnya kepada Raja Ahab. Hal tersebut membawa Jezebel ke pengadilan. Ia kemudian dihukum mati dengan cara dilemparkan dari jendela oleh para hakimnya. Setelah itu mayatnya dijadikan makanan untuk anjing yang kelaparan. Terjemahan Book of Kings tersebut menyatakan bahwa Jezebel adalah seorang Ratu Israel dan Judah Kuno yang tidak disukai oleh rakyatnya karena suka menghasut untuk menyembah Baal sang Iblis. Umat Yahweh kemudian mengutuk Ratu Jezebel dan membunuhnya.
            Dalam lirik lagu Edith Piaf yang berjudul “Jezebel” pun, Jezebel dianggap sebagai perempuan iblis. Lagu tersebut diakui Seno Gumira Ajidarma sebagai sumber inspirasi penulisan cerpen. Hal tersebut ia tuliskan dalam bagian akhir cerpen “Jezebel” dalam buku Sepotong Senja untuk Pacarku[9]. Edith Piaf adalah penyanyi kabaret asal Prancis yang diakui sebagai diva nasional Prancis dan bintang terbesar bagi rakyat Prancis[10]. Lagu “Jezebel” adalah lagu yang diciptakan oleh Wayne Shanklin dengan menggunakan bahasa Inggris. Edith Piaf merekam versi bahasa Prancis dari lagu tersebut pada tahun 1951. Dengan demikian, terdapat dua versi lirik pula, pertama adalah lirik berbahasa Inggris dan kedua adalah lirik berbahasa Prancis.
If ever the devil was born,
Without a pair of horns
It was you,
Jezebel, it was you.
‘Jika sesosok Iblis dilahirkan,
Tanpa mempunyai sepasang tanduk
Ialah dirimu,
Jezebel, ialah dirimu.’

Ce demon qui brulait mon coeur
Cet ange qui sechait mes pleurs
C'etait toi, Jezebel, c'etait toi[11]
‘Setan ini yang membakar hatiku
Malaikat ini yang mengeringkan air mataku
Itu Anda, Jezebel, itu Anda’
Dalam lirik lagu tersebut tersurat bahwa Jezebel adalah setan. Dalam bahasa Inggris, Jezebel digambarkan seperti jelmaan Iblis yang tidak mempunyai tanduk. Adapun dalam bahasa Prancis, Jezebel digambarkan sebagai setan yang memainkan hati manusia. Kedua terjemahan tersebut dapat menjadi data pendukung sindiran yang terdapat dalam cerpen “Jezebel” karya Seno Gumira Ajidarma. Sindiran tersebut adalah sindiran yang dilemparkan kepada umat Yahweh atau Israel dan Judah Kuno.
Sindiran terhadap umat Yahweh terjadi ketika Jezebel dalam cerpen “Jezebel” digambarkan sebagai satu-satunya makhluk yang masih hidup di muka bumi ketika kiamat terjadi. Hal tersebut seakan menyatakan bahwa Ratu Jezebel, sang penyembah Iblis, adalah satu-satunya makhluk yang benar. Artinya, dengan menyembah Baal, Jezebel diberikan keabadian, sedangkan manusia-manusia lain yang tidak menyembah Baal diberikan kematian.
“Aku lelah,” katanya (Jezebel) kepada angin, “siapa yang tidak lelah berjalan tanpa henti sepanjang pantai menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan? Tapi aku tidak bisa berhenti meskipun aku sudah hampir tidak kuat lagi. Harus ada yang setidaknya melihat mayat-mayat itu. Harus ada yang sekadar menghormatinya. Kalau tidak, siapa yang akan melakukannya? Tiada lagi manusia yang masih tersisa di muka bumi ini. Aku sendirian tak mungkin mengubur mereka semua, bahkan untuk menengoknya pun barangkali seluruh waktu hidupku tidak akan pernah cukup. Pantai ini tidak ada ujungnya dan mayat-mayat bertebaran sepanjang pantai tak terbilang. Harus ada yang sekadar menengoknya meski tidak bisa berbuat apa-apa, meskipun semuanya sudah punah. Tinggal aku sendiri di dunia menjalani ziarah yang panjang ini, yang tak akan pernah cukup untuk duka kehidupan di muka bumi.”
Potongan paragraf di atas dapat ditafsirkan sebagai sindiran untuk umat Yahweh. Bangsa Israel dan Judah Kuno dianggap melakukan kesalahan karena pada akhirnya hanya Ratu Jezebel yang dapat hidup abadi dan dapat menyaksikan kematian manusia yang tidak menyembah Baal. Sindiran terhadap suatu kepercayaan seperti ini tidak saja dilakukan oleh Seno Gumira Ajidarma (entah Seno Gumira Ajidarma melakukan sindiran dengan sengaja atau tidak). Akan tetapi, A.A. Navis sudah lebih dulu melakukan sindiran kepada umat Islam dengan cerpen “Robohnya Surau Kami” (1956). Selain itu, sindiran terhadap umat Kristen dan Katolik juga dilakukan oleh Dan Brown dengan bukunya yang berjudul The Da Vinci’s Code (2003). Dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”, Navis menyindir umat Islam dengan mengatakan bahwa seorang haji yang taat beribadah kepada Allah akan tetap masuk neraka jika tidak berbakti kepada bangsa. Adapun, Dan Brown menyindir umat Kristen dan Katolik dengan mengatakan bahwa Yesus memiliki keturunan dari hasil persetubuhannya dengan seorang pelacur bernama Maria Magdalena.
Sindiran lain yang dapat ditafsirkan dari cerpen “Jezebel” adalah sindiran terhadap keadaan jenis eksperimentasi sastra Indonesia. Maman S. Mahayana, dalam bukunya yang berjudul Kitab Kritik Sastra (2015), mengatakan bahwa ketika tahun 1970-an sastra Indonesia dilanda semangat eksperimentasi, sejalan dengan gerakan “kembali ke akar, kembali ke tradisi”. Pada tahun-tahun tersebut, sastra Indonesia seakan meninggalkan “kebarat-baratannya” dan bergeser untuk menonjolkan budaya Indonesia. Karya-karya beraliran filsafat Barat seperti karya-karya Iwan Simatupang mulai digantikan dengan karya-karya Kuntowijoyo dan Gus Mus yang dikaitkan dengan spiritualitas mistik Jawa dan tasawuf. Aliran filsafat Barat digantikan dengan kepercayaan Jawa dan Islam. Keberadaan cerpen “Jezebel” karya Seno Gumira Ajidarma yang ditulis pada tahun 1999 seakan ingin “mengajak” kembali para penikmat sastra Indonesia untuk menikmati aliran Barat. Oleh karena itu, cerpen “Jezebel” karya Seno Gumira Ajidarma dapat ditafsirkan sebagai sindiran untuk menyudahi eksperimentasi budaya Jawa dan Islam.
Berakhirnya pemaparan mengenai keadaan sejarah dan penafsiran data cerpen “Jezebel” menandakan bahwa kaidah ketiga hermeneutika Dilthey juga telah diterapkan. Dilthey menyebutkan bahwa kaidah terakhir hermeneutikanya adalah penyelesaian lingkaran hermeneutik pemahaman. Prinsip pemahaman Dilthey tersebut diakhiri dengan proses imajinatif pemahaman[12]. Artinya, dalam membaca karya sastra, pembaca terpanggil untuk membangun pengalaman kembali tentang manusia secara imajinatif dan menghubungkan pengalaman kejiwaan yang disajikan karya dengan pengalaman pembaca yang diperoleh dalam pembelajaran tentang sejarah dan lain sebagainya[13]. Usaha penyambungan kutipan dalam cerpen “Jezebel” karya Seno Gumira Ajidarma dengan keadaan sejarah telah menuntaskan penyelesaian lingkaran hermeneutik pemahaman. Pengalaman kejiwaan yang didapatkan dari membaca cerpen “Jezebel” membuat penafsir teringat kepada penggambaran hari kiamat yang terdapat dalam Kitab Injil dan Kitab Quran. Setelah itu penafsir dapat mengembangkan proses imajinatif pemahaman dengan melakukan lebih banyak kajian pustaka historis terhadap teks.
Sebagai sebuah cerpen yang menggambarkan keadaan hari akhir atau menyindir kepercayaan suatu umat, tentu Seno Gumira Ajidarma bukanlah orang pertama yang telah menuliskannya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, cerpen “Robohnya Surau Kami” karya Navis pun sudah menggambarkan keduanya terlebih dulu pada tahun 1956. Dalam hal ini, Ajidarma kehilangan unsur inovasi. Akan tetapi, usahanya untuk menyindir eksperimentasi tahun 1970-an Indonesia menjadi hal yang patut dilihat kembali. Cerpen “Jezebel” seakan mengatakan, “sudah cukup,” kepada model karya sastra eksperimentasi yang mengadaptasi kebudayaan Jawa ataupun Islam. Seno Gumira Ajidarma mengembalikan minat “kebarat-baratan” dengan mengadaptasi sebuah lagu asal Prancis dan cerita asal Israel.
Sebuah karya sastra dapat diinterpretasikan dengan bebas oleh pembaca. Akan tetapi, penafsiran yang bersifat pribadi cenderung membuahkan interpretasi karya sastra yang subjektif. Kritik sastra harus memberikan kritik yang objektif. Demi menghindari penafsiran subjektif, dibutuhkan data-data pendukung kesejarahan teks yang mengobjektifkan interpretasi. Penafsiran yang telah dilakukan penulis terhadap cerpen “Jezebel” karya Seno Gumira Ajidarma adalah penafsiran dengan cara hermeneutika Dilthey. Dalam hermeneutika Dilthey, pembuktian kesejarahan menjadi pendukung terpenting untuk menafsirkan suatu karya sastra. Dengan demikian, penulis dapat menggunakan hermeneutika Dilthey untuk menafsirkan cerpen “Jezebel” karya Seno Gumira Ajidarma sebagai cerpen yang menggambarkan keadaan hari kiamat, menyindir kepercayaan suatu umat, dan menyindir keadaan eksperimentasi sastra Indonesia.


Daftar Acuan
Ajidarma, Seno Gumira. 2002. Sepotong Senja untuk Pacarku “Jezebel” (1999). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Book of Revelation. Diakses dari http://www.discoverrevelation.com/Rev_16.
Dilthey, Wilhelm. 1957. Das Erlebnis und die Dichtung: Lessing Goethe, Novalis, Hoerderlin. Gottingen: Vandenbeck & Ruprecht.
Eliade, Mircea. 1993. The Encyclopedia of Religion. Macmillan Reference Books.
html, pada tanggal 1 Juni 2015, pukul 01.08 WIB.
Huey, Stev. "Edith Piaf: Biography". Yahoo! Music. Diakses pada tanggal 3 September 2009.
Indeks Al-Qur’an Hadits Online: Database Surat Ayat Al-Qur’an Hadits dan Terjemahannya. Diakses dari http://mizan-poenya.blogspot.com/2010/11/al-quran-dan-terjemahan-surat-101-al.html, pada tanggal 1 Juni 2015, pukul 00.57 WIB.
Knowles, Elizabeth. 2006. "Jezebel". The Oxford Dictionary of Phrase and Fable, OUP.
Kusniarti, Tuti. 2010. “Teks Sastra sebagai Media Komunikasi Antarbangsa (Kajian atas Novel Dari Fontenay ke Magallianes Karya N.H. Dini)”. Jurnal Bahasa dan Seni, Volume 11, Nomor 1, tahun 2010.
Lyrics Translate. Diakses dari http://lyricstranslate.com/en/jezebel-jezebel.html-2, pada tanggal 1 Juni 2015, pukul 01.44 WIB.
Palmer, Richard E. 1969. Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer. Evanston: Northwestern University Press.
Toorn, K. v. d., Becking, B., & Horst, P. W. v. d. 1999. Dictionary of Deities and Demons in the Bible DDD (2nd extensively rev. ed.) (154). Leiden; Boston; Grand Rapids, Mich.: Brill; Eerdmans.
W.M., Abdul Hadi. 2014. Hermeneutika Sastra Barat dan Timur. Jakarta: Sadra International Institute.



[1] Esai Kritik Sastra, dikumpulkan untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah Kritik Sastra Indonesia, Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, tahun ajaran 2014/2015.
[2] Diambil dari Abdul Hadi W.M.. 2014. Hermeneutika Sastra Barat dan Timur. Jakarta: Sadra International Institute. Halaman 33.
[3] Ibid., Halaman 105.
[4] Seno Gumira Ajidarma. 2002. Sepotong Senja untuk Pacarku. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
[5] Diambil dari Indeks Al-Qur’an Hadits Online: Database Surat Ayat Al-Qur’an Hadits dan Terjemahannya. Diakses dari http://mizan-poenya.blogspot.com/2010/11/al-quran-dan-terjemahan-surat-101-al.html, pada tanggal 1 Juni 2015, pukul 00.57 WIB.
[6] Diambil dari Book of Revelation. Diakses dari http://www.discoverrevelation.com/Rev_16.html, pada tanggal 1 Juni 2015, pukul 01.08 WIB.
[7] Elizabeth Knowles. 2006. "Jezebel". The Oxford Dictionary of Phrase and Fable, OUP.
[8] Toorn, K. v. d., Becking, B., & Horst, P. W. v. d. 1999. Dictionary of Deities and Demons in the Bible DDD (2nd extensively rev. ed.) (154). Leiden; Boston; Grand Rapids, Mich.: Brill; Eerdmans.
[9] Seno Gumira Ajidarma, op. cit., halaman 30.
[10] Steve Huey. "Edith Piaf: Biography". Yahoo! Music. Diakses pada tanggal 3 September 2009.
[11] Diambil dari Lyrics Translate. Diakses dari http://lyricstranslate.com/en/jezebel-jezebel.html-2, pada tanggal 1 Juni 2015, pukul 01.44 WIB.
[12] Abdul Hadi W.M., op. cit., halaman 105.
[13] Ibid., halaman 105.

March 28, 2015

Teori dan Kritik Sastra dari Barat

I. Teori Sastra dari Barat: Sebuah Laporan Bacaan “Perjalanan Teori Sastra di Indonesia”

to-read along with this post: 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik “Perjalanan Teori Sastra di Indonesia” (2005) karya Maman S. Mahayana

Tulisan mengenai “Perjalanan Teori Sastra di Indonesia” dalam buku 9 Jawaban Sastra Indonesia memaparkan perihal kemunculan teori dan kritik sastra di Indonesia. Hal ini tentu mengaitkan kedua hal tersebut dengan sejarah sastra pula. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa ilmu sastra memiliki tiga bidang kegiatan penelitian yang berkaitan dengan sastra yaitu penelitian teoritis, historis, dan kritis.

Foto: www.timeanddate.com
Penelitian historis dan kritis dapat dilakukan setelah adanya penelitian teoritis. Artinya, pembuktian-pembuktian dalam penelitian historis dan kritis harus dapat dipaparkan melalui teori sastra supaya bersifat objektif. Akan tetapi, hal tersebut juga menjadi masalah ketika artikel “Perjalanan Teori Sastra di Indonesia” mengangkat isu kenihilan teori-teori sastra Indonesia. Peneliti sastra Indonesia pun harus memakai acuan teori lain untuk menuliskan kritiknya. Dalam suatu bagian artikel juga disebutkan bahwa teori sastra yang digunakan akademisi untuk menuliskan kritik ialah teori sastra dari Barat.

Gambar: www.worldcrops.org
Penggunaan teori-teori sastra dari Barat oleh akademisi—seperti Aliran Rawamangun—tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Dasar kata akademi sendiri diambil dari Barat, akademia yang dipopulerkan oleh Plato pada 385 SM . Penggunaan teori-teori dari Barat tidak terjadi dalam bidang sastra saja, teori filsafat juga lebih banyak diambil dari Barat karena perbedaan budaya Barat dan Timur . Dasar-dasar yang awal mulanya datang dari Barat itulah yang menjadikan teori Barat lebih didengar oleh akademisi. Selain itu keterlambatan usaha untuk mengemukakan teori sastra Indonesia—yang baru muncul saat Alisjahbana menuliskan tentang kiasan—membuat teori tersebut kurang terdengar. Bahan karya sastra yang dipakai pun cenderung baru walaupun tidak semua karya yang diteliti adalah hasil dari Balai Pustaka. Hal tersebut semakin membuktikan keterlambatan pembuatan teori-teori sastra Indonesia yang berdampak pengambilan teori sastra dari Barat.

Foto: store.tempo.co

II. Laporan bacaan mengenai "Kritik Sastra: Sebuah Pengantar"

to-read along with this post: "Kritik Sastra: Sebuah Pengantar" (1981) karya Andre Hardjana

Kata kritik memiliki sejarah yang panjang. Kata tersebut digunakan pertama kali oleh Xenophanes dan Heraclitus untuk mengecam keras pujangga Homerus yang mengisahkan cerita senonoh tentang dewa-dewi. Plato pun mengatakan tiga unsur yang diangggap harus muncul dalam karya sastra yang baik yaitu memberikan ajaran moral yang tinggi, memberikan kenikmatan, dan memberikan ketepatan dalam pengungkapannya. Selanjutnya perkembangan sastra dalam sastra Yunani dipengaruhi oleh Poetics dari Aristoteles.

Foto: writingformultimedia10.wordpress.com

Selanjutnya kata kritikos digunakan untuk menjuluki hakim karya sastra. Pada tahun 305 SM, Philitas diundang ke Alexandria untuk menjadi guru dari Ptolemaeus II. Philitas pun mendapat sebutan sebagai “penyair dan kritikos”. Akan tetapi, setelah hal tersebut berlangsung, kata kritikos banyak digantikan oleh kata grammatikos sehingga hampir hilang dan tidak digunakan masyarakat lagi. Beberapa orang menganggap bahwa kritikos memiliki arti yang lebih tinggi daripada grammatikos. Oleh karena itu, beberapa orang masih menggunakannya untuk menjelaskan pengertian penafsir naskah dan asal-usul berbagai kata.

Gambar: ptolemy.eecs.berkeley.edu

Kata kritikos hilang dari peredaran sesaat sebelum masa Reinassance (era kelahiran kembali). Kata tersebut digunakan oleh seseorang bernama Polizianus bersamaan dengan grammatikos. Istilah criticus dan grammaticus ia campur adukkan menjadi satu dan ditujukan untuk orang-orang yang menggemari sastra. Buku yang pertama kali dijadikan sebagai pengetahuan ilmu modern berjudul Criticus yang disulis oleh Julius Caesar Scaliger.

Gambar: www.flickr.com

Dalam ranah sastra Inggris, Francis Bacon menjadi orang yang memperkenalkan istilah kritik kepada masyarakat. Ia membagi tradisi ilmu pengetahuan menjadi dua yaitu critical dan pedantical. Critical mempunyai ciri-ciri berpautan dengan perbaikan penerbitan karya pujangga, berpautan dengan pembeberan dan penguraian, berpautan dengan zaman yang memberikan petunjuk tentang penafsiran, berpautan dengan penghakiman karya, dan berpautan dengan sintaksis dalam penjelasannya.

Gambar: www.elizabethan-era.org.uk

Indonesia tidak langsung mengenal istilah kritik. Akan tetapi, mereka sudah mulai mengkritisi hal yang terkait dengan karya sastra jauh sebelum keberadaan Balai Pustaka. Karya-karya dalam Pujangga Baru adalah bukti tentang keberadaan kritik sastra di Indonesia. Istilah kritik sastra menjadi jelas setelah H.B. Jassin  menerbitkan buku Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay. Istilah seperti telaah, bahasan, dan ulasan sastra juga muncul dalam majalah dan suratkabar. Hal yang harus disorot dalam perkembangan sastra Indonesia bukanlah istilah yang digunakan, tetapi keberadaan kritik sastra yang semakin kokoh.

Foto: stomatarawamangun.files.wordpress.com

March 17, 2015

Renungan Malam #1 "Beri Daku Boston"

Recommended tracks for this post: "Last Hope" by Paramore, "Misguided Ghosts" by Paramore, "Boston" by Augustana

Ketika saya mengutarakan keinginan untuk tinggal di sebuah flat di kota Boston, hal tersebut nyatanya tak lebih dari sekadar angan-angan belaka. Angan tersebut terasa seperti bualan setelah saya mencicipi beberapa contoh kepahitan kehidupan. Beberapa hal telah membuat saya mengurungkan niat untuk mencoba pergi ke negeri orang. Bahkan, beberapa hal juga membuat saya merasa berada di dasar kehidupan (walaupun saya juga yakin bahwa saya hanya mengambang di antara dasar dan kesederhanaan). Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri juga, bualan yang saya utarakan tersebut berisikan secercah harapan. Walaupun harapan tersebut hanya setitik, ia tetap ada. Perasaan-perasaan lain mulai menutup lubang pengurungan niat. Saya pun bangkit untuk meraba-raba Boston. Saya harus bisa tinggal di sebuah flat di kota Boston. Paling tidak, saya ingin melihat rupa kota itu secara langsung. Saya ingin pergi ke Boston.

Foto: www.jamesmorgan.co.uk
Seperti pembuatan puisi Beri Daku Sumba karya Taufiq Ismail, ungkapan yang saya utarakan di atas tidak didasari oleh memori dari dalam otak. Saya belum pernah menginjakkan kaki di Boston, selayaknya Taufiq Ismail belum pernah berangkat menuju Sumba (saat ia menulis puisi Beri Daku Sumba). Akan tetapi, saya merasa sudah berada di dekat kota Boston. Begitu dekat, tetapi tidak dapat diraih.

Dalam suatu kelas Pengkajian Puisi, saya pernah diperdengarkan sebuah pembacaan puisi Beri Daku Sumba. Lalu perlahan terdengarlah suara derap kuda dari kejauhan. Perlahan pula bau rumput menyengat indera penciuman saya. Dan, tidak pernah saya kira bahwa saya telah berada di Sumba. Dari penerangan ufuk Timur menuju seberang lautan, semua terlihat jelas. Seakan saya sedang merekam suasana Sumba dengan mode kepala burung. Saya seperti sedang menggambar di atas rol-rol film yang demikian banyak jumlahnya. Sumba benar-benar indah. Pemandangan Sumba pun menjadi deja vu saat saya menonton film berjudul Pendekar Tongkat Emas. "Ah, saya sudah pernah melihatnya!".

Foto: carlvaliquet.blogspot.com
Cerita di atas terasa cocok saya tuliskan untuk mengantarkan sisa tulisan berikut. Tidak biasanya saya diberi kesempatan untuk merenungkan hal-hal yang terjadi kepada diri saya di masa lampau. Dengan menuliskannya, saya merasa diberi kesempatan. Terlebih kesempatan dari Taufiq Ismail agar saya dapat terus melihat kota Boston, walaupun hanya dalam angan-angan saja.

Setahun yang lalu saya hampir mencicipi kematian. Atau paling tidak, sengaja ingin mencicipinya. Tentu saja hal tersebut menjadi terdengar sangat bodoh, melihat satu tahun ini saya telah menenggelamkan diri ke dalam kesibukan yang luar biasa. Ternyata saya gampang lupa sehingga keinginan untuk mencicipi kematian pun cepat hilang pula. Saya berhenti merasa berada di dasar. Akan tetapi, saya mulai merasakan keadaan yang kosong. Lalu bagaimana cara saya mendeskripsikan kekosongan itu, ya? Yah, seperti tidak ada hal yang ingin Anda lakukan, tetapi Anda merasa harus melakukan sesuatu. Jika tidak melakukan sesuatu, Anda akan terlepas dari kenyataan kehidupan dan, mungkin, seperti terjebak dalam limbo. Namun, deskripsi di atas hanya usaha saya untuk memberi batasan 'kekosongan' saja. Kata tersebut sungguh tidak dapat dijelaskan jika sudah memiliki diri.

Tidak disayangkan, percobaan memberi kesibukan terhadap diri sendiri membuahkan hasil yang "lumayan". Terutama ketika saya berhasil meraih beberapa prestasi dalam bidang akademik dan nonakademik. Akan tetapi, perasaan kosong tidak pernah hilang, hingga sekarang, saat saya menuliskan tulisan ini, perasaan itu tidak pernah hilang. Mungkin jika diibaratkan dengan lagu, saya sedang menjalani "Misguided Ghosts" yang dilantunkan oleh Paramore. Saya benar-benar merasa tidak punya arah. Saya mempunyai impian, tetapi keinginan untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu menjadi tidak penting. Setelah menganggap tidak penting, saya selalu kembali ke pertanyaan tentang tujuan awal kegunaan manusia untuk kehidupan. Ketika saya berada di titik tersebut, saya menganggap diri saya menyedihkan. Selalu saja terasa menyedihkan untuk membayangkan manusia-manusia kotor dalam pikiran saya. Sebagai bagian dari makhluk tersebut, saya merasa jijik terhadap diri saya.

Foto: www.bu.edu
Sementara itu, Boston masih terasa sangat jauh dari diri saya. Akan tetapi, nampaknya ia tidak berada sejauh dulu. Lucunya, saya tidak pernah mencoba untuk membayangkan keadaan kota Boston. Bahkan saya tidak pernah tahu apakah kota Boston memiliki flat atau tidak (tetapi sepertinya ada, sih). Saya juga tidak mempunyai relasi yang kuat dengan kota tersebut. Mungkin satu-satunya alasan mengapa saya ingin melihat kota tersebut adalah karena saya pernah mendengarkan lagu berjudul "Boston" karya Augustana. Atau mungkin karena saya pernah mendengarkan beberapa lagu dari band bernama Boston. Selain itu, saya kira tidak ada lagi alasan kuat untuk melihat kota tersebut. But still, I feel like I have to go there someday, somehow.

Kota Boston seperti bertransformasi menjadi penjaga impian saya. Mungkin itu guna Boston sebagai bagian dari angan. Sebagai penjaga. Walaupun mimpi-mimpi saya bertebaran di langit, tak keruan, tak berbentuk, dan tak berwujud, setidaknya saya tahu, mereka masih berada di sana. Mereka dijaga oleh Boston yang tidak seberapa kuatnya. Tak apa. Yang penting, ia dapat terus mengingatkan bahwa saya mempunyai mimpi. Sesulit apa pun mimpi tersebut untuk diraih, sebodoh apa pun angan tersebut terdengar di telinga orang, saya akan pergi melihat kota Boston. Suatu hari nanti, setelah saya membebaskan diri dari kekosongan yang ada.

Foto: blog.spothero.com