Gambar untuk keperluan Blog. Diambil dari http://userserve-ak.last.fm/serve/_/89040767/Efek+Rumah+Kaca++PNG.png. |
Lirik lagu, dalam Oxford’s Learner Dictionary (7th Edition) karya Hornby (dalam Kurniawan, 2012:13), didefinisikan sebagai puisi yang mengekspresikan perasaan atau pikiran seseorang dan disampaikan dengan cara dinyanyikan (Hornby, 2005:921)[1]. Adapun menurut Mihalcea dan Strapparava dalam Lyrics, Music, and Emotions, lirik adalah salah satu cara untuk mengungkapkan emosi yang ada dalam musik atau lagu (Mihalcea dan Strapparava, 2012:594). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa lirik lagu adalah puisi yang berisi tentang ekspresi perasaan dan ungkapan emosi, disampaikan dalam musik dengan cara dinyanyikan.
Makna ekspresi dan
emosi dalam lirik lagu dapat dianalisis melalui kajian pragmatik. Seperti yang
disebutkan dalam Kamus Linguistik Edisi
Keempat karya Harimurti Kridalaksana, pragmatik adalah aspek-aspek
pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada
makna ujaran (Kridalaksana, 2008:198). Akan tetapi makna tidak selalu terungkap
dalam ujaran. Makna tersebut dapat dikatakan sebagai implikatur percakapan.
Implikatur percakapan, menurut Kushartanti dalam “Pragmatik” Pesona Bahasa, adalah maksud tertentu
yang disampaikan oleh pembicara ketika mengujarkan sesuatu (Kushartanti,
2005:106). Disebutkan juga oleh Harimurti Kridalaksana, bahwa implikatur
percakapan adalah makna yang dipahami tetapi tidak atau kurang terungkap dalam
apa yang diucapkan (Kridalaksana, 2008:91). Artinya, implikatur percakapan
adalah makna yang tidak langsung disampaikan oleh pembicara dalam tuturannya
tetapi dipahami oleh lawan bicaranya.
Implikatur percakapan
dapat dimengerti ketika perkataan seorang pembicara relevan dengan situasinya.
Oleh karena itu perkataan seseorang juga harus memiliki maksim agar dapat memenuhi
relevansi suatu tuturan. Dalam artikel yang berjudul “Logic and Conversation” Syntax and Semantics karya Grice, maksim
adalah sebuah prinsip untuk memenuhi informasi yang disampaikan agar
pembicaraan menjadi komunikatif (Grice, 1975:45). Kushartanti membagi maksim ke
dalam empat bagian yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi,
dan maksim cara. Maksim-maksim tersebut nantinya akan mengungkapkan makna yang
terdapat dalam implikatur percakapan.
Suatu makna juga dapat
dibuktikan melalui analisis deiksis. Stephen Levinson, dalam “Deixis” The Handbook of Pragmatics, mengatakan
bahwa deiksis memperkenalkan suatu konteks dalam tuturan dengan subjektif dan
disengaja (Levinson, 2006:97). Adapun George Yule dalam Pragmatics mengatakan bahwa deiksis adalah salah satu hal yang
paling dasar yang kira lakukan dengan ucapan, artinya memberi petunjuk melalui
bahasa (Yule, 1996:9). Deiksis terbagi ke dalam tiga bagian yaitu deiksis
ruang, deiksis waktu, dan deiksis persona (Kushartanti, 2005:111-112). Dengan
menggunakan analisis deiksis, implikatur dapat dengan lebih mudah dirujuk
sesuai dengan konteks sehingga makna dapat terlihat.
Lirik lagu yang
berjudul “Di Udara” karya sebuah grup musik asal Indonesia, Efek Rumah Kaca,
memiliki makna yang tidak diungkapkan secara langsung. Implikatur dalam lirik
lagu tersebut yang dapat dilihat adalah peristiwa pembunuhan Munir. Lagu
tersebut termasuk ke dalam album Efek
Rumah Kaca yang dirilis pada tahun 2007 oleh Paviliun Recors. Cholil
Mahmud, vokalis dari grup tersebut mengaku bahwa lagu “Di Udara” terinspirasi
dari sosok Munir[2].
Berikut adalah lirik lagu “Di Udara” karya Efek Rumah Kaca.
Aku sering
diancam
juga teror
mencekam
Kerap ku
disingkirkan
sampai di mana
kapan
Ku bisa
tenggelam di lautan
Aku bisa diracun
di udara
Aku bisa
terbunuh di trotoar jalan
tapi aku tak
pernah mati
Tak akan
berhenti
Aku sering
diancam
juga teror
mencekam
Ku bisa dibuat
menderita
Aku bisa dibuat
tak bernyawa
di
kursi-listrikkan ataupun ditikam
Tapi aku tak
pernah mati
Tak akan berhenti
Tapi aku tak
pernah mati
Tak akan
berhenti
Ku bisa dibuat
menderita
Aku bisa dibuat
tak bernyawa
di
kursi-listrikkan ataupun ditikam
Ku bisa
tenggelam di lautan
Aku bisa diracun
di udara
Aku bisa
terbunuh di trotoar jalan
Tapi aku tak
pernah mati
Tak akan
berhenti[3]
Munir Said Thalib Al-Kathiri adalah seorang aktivis
HAM Indonesia yang diracun saat melakukan perjalanan dari Jakarta menuju
Amsterdam dengan menggunakan pesawat[4]. Hal tersebut membuatnya
meninggal di dalam pesawat yang ia tumpangi pada tahun 2004. “Di Udara” karya
Efek Rumah Kaca memiliki implikatur yang membicarakan peristiwa tersebut.
Analisis maksim dan deiksis dapat membantu untuk membuktikan makna yang tidak
diungkapkan secara langsung tersebut.
Teori yang akan digunakan untuk membahas tentang
maksim adalah teori yang dikemukakan oleh Grice (1975) yang menyebutkan empat
macam maksim. Empat macam maksim tersebut ialah maxim of quantity, maxim of quality, maxim of relevance, dan maxim of manner. Keempat maksim tersebut
telah dipaparkan ulang oleh Kushartanti (2005) dalam Pesona Bahasa. Teori mengenai deiksis akan diambil dari Levinson
(2006). Hanya saja dari lima deiksis yang disebutkan oleh Levinson, analisis
dalam makalah ini hanya akan membatasi deiksis menjadi tiga. Ketiga deiksis
tersebut ialah deiksis persona, deiksis waktu, dan deiksis ruang. Teori
tersebut juga telah dipaparkan ulang dalam Pesona
Bahasa kecuali deiksis sosial. Dengan begitu Pesona Bahasa akan menjadi acuan yang membantu pemahaman karena
paparannya telah lebih jelas dikemukakan dalam bahasa Indonesia.
FILE DOWNLOAD:
https://docs.google.com/document/d/1IpM-mLVVhakHYdubuHRk1AwpN5njsz4-bhKEiXn3sMM/edit?usp=sharing
[1]
Diambil dari Indraswari
Pangestu. 2012. Kritik Sosial dalam
Lirik-Lirik Lagu Efek Rumah Kaca. Depok: Universitas Indonesia.
[2]
Rama Wirawan. 2011. “Vokalis
Efek Rumah Kaca: Munir Adalah Seorang Tauladan” http://rollingstone.co.id/read/2011/09/06/165444/1716764/1093/vokalis-efek-rumah-kaca-munir-adalah-seorang-tauladan.
Diakses pada 22 Desember 2014, pukul 21.17 WIB.
[3]
Diambil dari Efek Rumah Kaca. “Di
Udara” http://lirik.kapanlagi.com/artis/efek_rumah_kaca/di_udara,
diakses pada 22 Desember 2014, pukul 21.25 WIB.
[4]
Diakses dari http://www.kontras.org/munir/, pada 22
Desember 2014, pukul 21.12 WIB.
No comments:
Post a Comment