Ketika saya mengutarakan keinginan untuk tinggal di sebuah flat di kota Boston, hal tersebut nyatanya tak lebih dari sekadar angan-angan belaka. Angan tersebut terasa seperti bualan setelah saya mencicipi beberapa contoh kepahitan kehidupan. Beberapa hal telah membuat saya mengurungkan niat untuk mencoba pergi ke negeri orang. Bahkan, beberapa hal juga membuat saya merasa berada di dasar kehidupan (walaupun saya juga yakin bahwa saya hanya mengambang di antara dasar dan kesederhanaan). Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri juga, bualan yang saya utarakan tersebut berisikan secercah harapan. Walaupun harapan tersebut hanya setitik, ia tetap ada. Perasaan-perasaan lain mulai menutup lubang pengurungan niat. Saya pun bangkit untuk meraba-raba Boston. Saya harus bisa tinggal di sebuah flat di kota Boston. Paling tidak, saya ingin melihat rupa kota itu secara langsung. Saya ingin pergi ke Boston.
Foto: www.jamesmorgan.co.uk |
Seperti pembuatan puisi Beri Daku Sumba karya Taufiq Ismail, ungkapan yang saya utarakan di atas tidak didasari oleh memori dari dalam otak. Saya belum pernah menginjakkan kaki di Boston, selayaknya Taufiq Ismail belum pernah berangkat menuju Sumba (saat ia menulis puisi Beri Daku Sumba). Akan tetapi, saya merasa sudah berada di dekat kota Boston. Begitu dekat, tetapi tidak dapat diraih.
Dalam suatu kelas Pengkajian Puisi, saya pernah diperdengarkan sebuah pembacaan puisi Beri Daku Sumba. Lalu perlahan terdengarlah suara derap kuda dari kejauhan. Perlahan pula bau rumput menyengat indera penciuman saya. Dan, tidak pernah saya kira bahwa saya telah berada di Sumba. Dari penerangan ufuk Timur menuju seberang lautan, semua terlihat jelas. Seakan saya sedang merekam suasana Sumba dengan mode kepala burung. Saya seperti sedang menggambar di atas rol-rol film yang demikian banyak jumlahnya. Sumba benar-benar indah. Pemandangan Sumba pun menjadi deja vu saat saya menonton film berjudul Pendekar Tongkat Emas. "Ah, saya sudah pernah melihatnya!".
Foto: carlvaliquet.blogspot.com |
Cerita di atas terasa cocok saya tuliskan untuk mengantarkan sisa tulisan berikut. Tidak biasanya saya diberi kesempatan untuk merenungkan hal-hal yang terjadi kepada diri saya di masa lampau. Dengan menuliskannya, saya merasa diberi kesempatan. Terlebih kesempatan dari Taufiq Ismail agar saya dapat terus melihat kota Boston, walaupun hanya dalam angan-angan saja.
Setahun yang lalu saya hampir mencicipi kematian. Atau paling tidak, sengaja ingin mencicipinya. Tentu saja hal tersebut menjadi terdengar sangat bodoh, melihat satu tahun ini saya telah menenggelamkan diri ke dalam kesibukan yang luar biasa. Ternyata saya gampang lupa sehingga keinginan untuk mencicipi kematian pun cepat hilang pula. Saya berhenti merasa berada di dasar. Akan tetapi, saya mulai merasakan keadaan yang kosong. Lalu bagaimana cara saya mendeskripsikan kekosongan itu, ya? Yah, seperti tidak ada hal yang ingin Anda lakukan, tetapi Anda merasa harus melakukan sesuatu. Jika tidak melakukan sesuatu, Anda akan terlepas dari kenyataan kehidupan dan, mungkin, seperti terjebak dalam limbo. Namun, deskripsi di atas hanya usaha saya untuk memberi batasan 'kekosongan' saja. Kata tersebut sungguh tidak dapat dijelaskan jika sudah memiliki diri.
Tidak disayangkan, percobaan memberi kesibukan terhadap diri sendiri membuahkan hasil yang "lumayan". Terutama ketika saya berhasil meraih beberapa prestasi dalam bidang akademik dan nonakademik. Akan tetapi, perasaan kosong tidak pernah hilang, hingga sekarang, saat saya menuliskan tulisan ini, perasaan itu tidak pernah hilang. Mungkin jika diibaratkan dengan lagu, saya sedang menjalani "Misguided Ghosts" yang dilantunkan oleh Paramore. Saya benar-benar merasa tidak punya arah. Saya mempunyai impian, tetapi keinginan untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu menjadi tidak penting. Setelah menganggap tidak penting, saya selalu kembali ke pertanyaan tentang tujuan awal kegunaan manusia untuk kehidupan. Ketika saya berada di titik tersebut, saya menganggap diri saya menyedihkan. Selalu saja terasa menyedihkan untuk membayangkan manusia-manusia kotor dalam pikiran saya. Sebagai bagian dari makhluk tersebut, saya merasa jijik terhadap diri saya.
Foto: www.bu.edu |
Sementara itu, Boston masih terasa sangat jauh dari diri saya. Akan tetapi, nampaknya ia tidak berada sejauh dulu. Lucunya, saya tidak pernah mencoba untuk membayangkan keadaan kota Boston. Bahkan saya tidak pernah tahu apakah kota Boston memiliki flat atau tidak (tetapi sepertinya ada, sih). Saya juga tidak mempunyai relasi yang kuat dengan kota tersebut. Mungkin satu-satunya alasan mengapa saya ingin melihat kota tersebut adalah karena saya pernah mendengarkan lagu berjudul "Boston" karya Augustana. Atau mungkin karena saya pernah mendengarkan beberapa lagu dari band bernama Boston. Selain itu, saya kira tidak ada lagi alasan kuat untuk melihat kota tersebut. But still, I feel like I have to go there someday, somehow.
Kota Boston seperti bertransformasi menjadi penjaga impian saya. Mungkin itu guna Boston sebagai bagian dari angan. Sebagai penjaga. Walaupun mimpi-mimpi saya bertebaran di langit, tak keruan, tak berbentuk, dan tak berwujud, setidaknya saya tahu, mereka masih berada di sana. Mereka dijaga oleh Boston yang tidak seberapa kuatnya. Tak apa. Yang penting, ia dapat terus mengingatkan bahwa saya mempunyai mimpi. Sesulit apa pun mimpi tersebut untuk diraih, sebodoh apa pun angan tersebut terdengar di telinga orang, saya akan pergi melihat kota Boston. Suatu hari nanti, setelah saya membebaskan diri dari kekosongan yang ada.
Foto: blog.spothero.com |
No comments:
Post a Comment