“Kindness in words creates confidence. Kindness in thinking creates profoundness. Kindness in giving creates love.” ― Lao Tzu

March 28, 2015

Teori dan Kritik Sastra dari Barat

I. Teori Sastra dari Barat: Sebuah Laporan Bacaan “Perjalanan Teori Sastra di Indonesia”

to-read along with this post: 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik “Perjalanan Teori Sastra di Indonesia” (2005) karya Maman S. Mahayana

Tulisan mengenai “Perjalanan Teori Sastra di Indonesia” dalam buku 9 Jawaban Sastra Indonesia memaparkan perihal kemunculan teori dan kritik sastra di Indonesia. Hal ini tentu mengaitkan kedua hal tersebut dengan sejarah sastra pula. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa ilmu sastra memiliki tiga bidang kegiatan penelitian yang berkaitan dengan sastra yaitu penelitian teoritis, historis, dan kritis.

Foto: www.timeanddate.com
Penelitian historis dan kritis dapat dilakukan setelah adanya penelitian teoritis. Artinya, pembuktian-pembuktian dalam penelitian historis dan kritis harus dapat dipaparkan melalui teori sastra supaya bersifat objektif. Akan tetapi, hal tersebut juga menjadi masalah ketika artikel “Perjalanan Teori Sastra di Indonesia” mengangkat isu kenihilan teori-teori sastra Indonesia. Peneliti sastra Indonesia pun harus memakai acuan teori lain untuk menuliskan kritiknya. Dalam suatu bagian artikel juga disebutkan bahwa teori sastra yang digunakan akademisi untuk menuliskan kritik ialah teori sastra dari Barat.

Gambar: www.worldcrops.org
Penggunaan teori-teori sastra dari Barat oleh akademisi—seperti Aliran Rawamangun—tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Dasar kata akademi sendiri diambil dari Barat, akademia yang dipopulerkan oleh Plato pada 385 SM . Penggunaan teori-teori dari Barat tidak terjadi dalam bidang sastra saja, teori filsafat juga lebih banyak diambil dari Barat karena perbedaan budaya Barat dan Timur . Dasar-dasar yang awal mulanya datang dari Barat itulah yang menjadikan teori Barat lebih didengar oleh akademisi. Selain itu keterlambatan usaha untuk mengemukakan teori sastra Indonesia—yang baru muncul saat Alisjahbana menuliskan tentang kiasan—membuat teori tersebut kurang terdengar. Bahan karya sastra yang dipakai pun cenderung baru walaupun tidak semua karya yang diteliti adalah hasil dari Balai Pustaka. Hal tersebut semakin membuktikan keterlambatan pembuatan teori-teori sastra Indonesia yang berdampak pengambilan teori sastra dari Barat.

Foto: store.tempo.co

II. Laporan bacaan mengenai "Kritik Sastra: Sebuah Pengantar"

to-read along with this post: "Kritik Sastra: Sebuah Pengantar" (1981) karya Andre Hardjana

Kata kritik memiliki sejarah yang panjang. Kata tersebut digunakan pertama kali oleh Xenophanes dan Heraclitus untuk mengecam keras pujangga Homerus yang mengisahkan cerita senonoh tentang dewa-dewi. Plato pun mengatakan tiga unsur yang diangggap harus muncul dalam karya sastra yang baik yaitu memberikan ajaran moral yang tinggi, memberikan kenikmatan, dan memberikan ketepatan dalam pengungkapannya. Selanjutnya perkembangan sastra dalam sastra Yunani dipengaruhi oleh Poetics dari Aristoteles.

Foto: writingformultimedia10.wordpress.com

Selanjutnya kata kritikos digunakan untuk menjuluki hakim karya sastra. Pada tahun 305 SM, Philitas diundang ke Alexandria untuk menjadi guru dari Ptolemaeus II. Philitas pun mendapat sebutan sebagai “penyair dan kritikos”. Akan tetapi, setelah hal tersebut berlangsung, kata kritikos banyak digantikan oleh kata grammatikos sehingga hampir hilang dan tidak digunakan masyarakat lagi. Beberapa orang menganggap bahwa kritikos memiliki arti yang lebih tinggi daripada grammatikos. Oleh karena itu, beberapa orang masih menggunakannya untuk menjelaskan pengertian penafsir naskah dan asal-usul berbagai kata.

Gambar: ptolemy.eecs.berkeley.edu

Kata kritikos hilang dari peredaran sesaat sebelum masa Reinassance (era kelahiran kembali). Kata tersebut digunakan oleh seseorang bernama Polizianus bersamaan dengan grammatikos. Istilah criticus dan grammaticus ia campur adukkan menjadi satu dan ditujukan untuk orang-orang yang menggemari sastra. Buku yang pertama kali dijadikan sebagai pengetahuan ilmu modern berjudul Criticus yang disulis oleh Julius Caesar Scaliger.

Gambar: www.flickr.com

Dalam ranah sastra Inggris, Francis Bacon menjadi orang yang memperkenalkan istilah kritik kepada masyarakat. Ia membagi tradisi ilmu pengetahuan menjadi dua yaitu critical dan pedantical. Critical mempunyai ciri-ciri berpautan dengan perbaikan penerbitan karya pujangga, berpautan dengan pembeberan dan penguraian, berpautan dengan zaman yang memberikan petunjuk tentang penafsiran, berpautan dengan penghakiman karya, dan berpautan dengan sintaksis dalam penjelasannya.

Gambar: www.elizabethan-era.org.uk

Indonesia tidak langsung mengenal istilah kritik. Akan tetapi, mereka sudah mulai mengkritisi hal yang terkait dengan karya sastra jauh sebelum keberadaan Balai Pustaka. Karya-karya dalam Pujangga Baru adalah bukti tentang keberadaan kritik sastra di Indonesia. Istilah kritik sastra menjadi jelas setelah H.B. Jassin  menerbitkan buku Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay. Istilah seperti telaah, bahasan, dan ulasan sastra juga muncul dalam majalah dan suratkabar. Hal yang harus disorot dalam perkembangan sastra Indonesia bukanlah istilah yang digunakan, tetapi keberadaan kritik sastra yang semakin kokoh.

Foto: stomatarawamangun.files.wordpress.com

No comments:

Post a Comment