“Kindness in words creates confidence. Kindness in thinking creates profoundness. Kindness in giving creates love.” ― Lao Tzu

November 03, 2014

Wanita Dalam Kamar



"Every poem should remind the reader that they are going to die.”

- Edgar Allan Poe

     Sssrreekkk
     …
     Sssrreeeeeeeeekkkk
     …
     …
     SRRREEEEEKKKKKKK…
     …
     …
     …

     Sudah tidak tahu lagi berapa banyak kertas yang harus aku sobek. Buku tulisku kian lama kian menipis. Aku habiskan dengan tangan dan jemariku yang kurus.
     …
     Sssssrrreeeeeekkkk
     …
     Tak kunjung pagi. Tak kunjung pagi. Kamarku masih gelap. Hanya lampu di atas meja saja yang hidup. Tak cukup untuk menerangi seluruh ruang. Bahkan untuk menerangi kamarku yang kecil, tak cukup. Cahaya dari lampu itu hanya dibuat untukku yang suka menulis. Penulis dalam gelap. Penulis kegelapan.
     …
     …
     …
     Sudah tak ada lagi suara yang terdengar di perumahan ini. Aku melihat ke luar jendela, lampu-lampu kota sudah padam. Di luar gelap. Hampir sama dengan kegelapan kamarku. Hanya remang-remang yang dihasilkan lampu jalanan. Tak cukup menerangi sampai ke depan pintu rumah sedikitpun. Sesekali ada orang lewat dengan kemeja dan celana bahan. Pulang kantor nampaknya. Lembur. Sesekali pula satpam berkeliling menggunakan sepeda. Tak bersenter. Hanya bermodal topi yang diberikan Pak RT saja. Ia berkeliling dengan siulnya yang merdu.
     Akan tetapi kemerduan siul satpam itu relatif. Tak tahu berapa liter ludah yang sudah ia hasilkan untuk bersiul-siul sekencang itu. Merdu-merdu saja pikirku. Relatifnya sama dengan kecantikan wanita. Wanita pirang tak secantik wanita berambut hitam. Wanita tinggi tak secantik wanita mungil. Wanita berkulit putih tak secantik wanita berkulit sawo matang atau kuning langsat. Wanita, wanita, wanita. Tak pernah kutemukan wanita ideal seumuranku untuk menemani di saat-saat seperti ini. Tak pernah ada kekasih di sampingku saat aku terjaga di malam hari.
     “AAHHHHHHHH!!!!”
     SREEEEEKKKKKKKKKKK
     “BABI!”
     BRAK
     …
     Kulempar bukuku yang tipis ke arah pintu. Kubiarkan kertas-kertas tercopot dari tempatnya. Berserakan di lantai kamarku.
     Menunduk aku di atas meja. Menyesali tiap tetes tinta yang aku habiskan untuk kesia-siaan. Tak dapat menulis lagi. Uang sebentar lagi habis. Bahkan honor dari koran tak mencukupi kebutuhan pola hidupku yang sederhana.
     Aku beranjak dari bangku menuju luar kamar. Lorong rumahku juga sudah gelap. Sepertinya semua orang sudah tertidur.
     “Bu, bangun.”
     Aku menghampiri ibu yang sedang terlelap di kamarnya.
     “Tegar… Kok,… masih bangun.?...” Ucapnya sambil setengah tertidur.
     “Begadang. Deadline. Ga punya uang.”
     …
     Hening
     “Gar, jangan terlalu maksa jadi penulis. Ga cukup untuk hidup. Kamu berbakat. Tapi kamu juga harus realistis, Nak.”
     Aku diam saja. Setuju tak setuju dengan pendapat ibu. Ia juga terdiam.
     Lalu ia bangun dan tersenyum kepadaku.
     “Sini.”
     Ibu memelukku dengan tubuhnya yang hangat. Tak ada pelukan yang dapat mengalahkan pelukan ibu. Begitu tulus. Tanpa tanya dan tanpa syarat. Kubalas peluknya. Seperti koala yang memeluk pohon. Aku memeluk ibu dengan erat agar tidak terjatuh. Tak pernah jatuh saat aku memeluk ibu.
     “Sudah?”
     “Sudah.”
     Aku sedikit tenang. Pikiranku mulai bekerja dengan lancar lagi. Ibu seperti pil penambah semangat, penambah kreativitas.
     Aku selimutkan ibu di atas kasurnya. Ia kembali tertidur. Aku berlari menuju kamarku dan membuka buku tulisku yang terjatuh di lantai. Setengah jam saja aku berkelit dengan konsep dan rangkaian. Sejam berikutnya kutulis cerita-cerita yang penuh perasaan.
     Aku tak keberatan menulis dalam gelap. Hanya ada suara goresan pulpen dan nafasku yang terburu-buru menyelesaikan tulisan. Pagi tak tiba jika aku tak selesai.

***

     Keesokan harinya tulisanku kembali muncul di koran. Aku kembali mempunyai uang. Barang-barang penunjang kehidupan langsung aku beli dari honor koran. Seperti orang kaya mendadak, aku membeli makanan-makanan mahal untuk memuaskan diri.
     Mulai banyak juga kritikus-kritikus yang membaca karyaku. Esai-esai muncul dalam ranah akademis. Sok hebat mereka mengkaji stilistika karya-karyaku. Dibilang misterius, dibilang “gelap”, dibilang “noir”, dibilang plagiat. Tak peduli. Selama aku masih bisa hidup, masih bisa makan. Aku tak peduli.
     Akan tetapi uang tak selalu ada jika digunakan terus menerus. Aku kembali melarat jika tak berkarya.
     Sssrreekkk
     …
     Sssrreeeeeeeeekkkk
     …
     …
     SRRREEEEEKKKKKKK…
     …
     …
     …
     “AAHHHHHHHH!!!!”
     SREEEEEKKKKKKKKKKK
     “BABI!”
     BRAK
     …
     Selalu seperti itu. Selalu kembali ke situasi gelap.
     Akan tetapi aku tak hanya punya ibu. Terkadang aku pergi menghampiri kamar nenek. Lalu kamar teteh. Lalu kamar mbak. Wanita-wanita ini seperti sumber inspirasi yang tak pernah putus. Sehabis aku menghampiri kamar mereka, aku selalu mendapatkan ilham untuk menulis.
     Tak ada hasrat nafsu sedikitpun terhadap mereka. Aku hanya senang berbicara dengan mereka. Pikiran-pikiran dari sudut pandang wanita menjadi sumber utama bahan penulisanku. Tidak jarang aku dianggap feminis dan androginis pula. Dari semua wanita di rumahku, yang paling unik adalah mbak yang masih menerapkan sistem nrimo ing pandum dalam keluarganya.
     Selalu juga setiap selesai mengobrol aku kembali masuk ke dalam kamarku yang gelap. Menuliskan tulisan-tulisanku yang disukai pembaca koran.

***

     “Permisi, Kak Tegar! Saya dari Literature Weekly, boleh wawancara sedikit tentang karya-karya Kakak?”
     …
     Setan mana ini? Berani datang ke rumahku.
     Tak berani kubuka pintu lebar-lebar. Agar ia tak bisa melihat ke dalam rumahku.
     “…Dari mana?”
     “Literature Weekly!”
     Nama majalah apa itu? Liberalis, kapitalis, munafik yang sebetulnya tak peduli tentang sastra pastinya.
     “Saya tak ada waktu”
     “Sebentar saja!”
     Pintu yang tadinya mau aku tutup langsung didobrak oleh pria model metroseksual itu. Rambutnya klimis. Pasti menggunakan pomade. Tangannya melambai-lambai seperti wanita. Tak suka aku dengan pria macam ini. Model yang mempermalukan kaum wanita.
     “Sebentar saja!”
     Ia masuk dengan wajah penuh senyum. Langsung dikeluarkan mesin perekam suara dan alat tulis. Nampaknya ia telah menyiapkan sejumlah pernyataan yang dititipkan atasannya. Tak suka aku menjawab pertanyaan. Tak suka juga berbicara dengan orang yang tidak aku kenal.
     “Namaku Jordy, Kak!”
     “Saya tak peduli, Nak!”
     Ia tetap senyum-senyum.
    “Kak, kok, rumahnya bau begini, ya?”
     “Saya ga suka yang wangi-wangi.”
     “Oh… Nyentrik… Tapi bau bangetAnyway mulai aja ya, Kak, biar cepet selesai hihihihi.”
     “Silakan.”
     “Kenapa Kakak tulisannya serem serem?”
     …
     “Saya ga ngerasa serem.”
     “Ohya?”
     “Ya…”
     “Lalu inspirasi Kakak siapa, sih? Kok, karya Kakak bisa konstan masuk koran begitu?”
     …
     …
     …
     “Kak?”
     “… Ibu, nenek, kakak, dan mbak saya.”
     “Oh, menarik! Jadi kakak feminis?”
     “Ga juga…”
     “Wah, wah, boleh ga aku ketemu sama mama, nini, teteh, dan mbak Kakak?”
     “Untuk apa”
     “Wawancara, dong!”
     Tak kubalas dia.
     Aku langsung beranjak dari tempat dudukku. Memberi isyarat untuk wartawan itu agar mengikutiku. Aku tak keberatan mempertemukan inspirasi-inspirasiku dengan wartawan agar mereka dapat ikut terkenal. Mungkin ini cara terbaikku untuk membalas kebaikan mereka.
     Semakin aku ajak wartawan itu untuk mendekat ke kamar, ia semakin menutup hidungnya. Nampaknya bau yang ia hirup sangat busuk. Muntah ia di depan kamar ibuku, menangis pula karena bau yang menyengat.
     Kubuka kamar ibu. Aku ingin dengan tulus memperkenalkan ibu kepada—siapa-namanya-tadi?—Jordy. Akan tetapi Jordy teriak seperti orang kesurupan. Lari ia ke luar rumah meneriakkan hal yang tidak-tidak.
     Tetangga-tetanggaku keluar semua untuk melihat peristiwa yang jarang terjadi di perumahan itu. Wartawan itu masih meneriakkan hal yang tidak jelas.
     “Mayat! Mayat-mayat! Banyak mayat digantung di kamarnya! Dipakaikan baju dan lipstik! Udah busuk semua! Busuk! Mayat busuk! Darah kering di ruangan! Gila dia! Gila dia! Ibu dan neneknya!
     Matanya masih membelalak!
     Melihat saya!
     Mati aku!
     Matiiiiiiiiiiiiiiiiiii!”

***

     Ternyata sudah tiga tahun wanita-wanita di rumahku mati dan aku tidak mengetahuinya. Tampaknya aku juga membunuh mereka. Betul-betul terkenal kami karena peristiwa itu. Aku, ibu, nenek, teteh, dan mbak masuk ke dalam berita utama koran nasional. Mereka pasti bangga denganku.
     Schizophrenia katanya.
     Akut sampai membunuh.
     Tak bisa kubedakan lagi antara kecantikan dan kehidupan. Tak bisa kubedakan lagi antara mayat dan wanita. Kusimpan mereka agar tak hilang. Kusimpan mereka yang bisa menjaga.

“The death of a beautiful woman is,
unquestionably,
the most poetical topic in the world.”
- Edgar Allan Poe


2 November 2014

No comments:

Post a Comment