“Kindness in words creates confidence. Kindness in thinking creates profoundness. Kindness in giving creates love.” ― Lao Tzu

October 22, 2014

Kereta Tanpa Rem, Plato Tanpa Gua / Allegory

Kereta Tanpa Rem, Plato Tanpa Gua / Allegory

  Tak henti-hentinya aku setuju terhadap pernyataan Plato tentang teori Plato’s Cave. Orang yang ada di dalam gua jangan dibiarkan keluar. Biarkan mereka ketahui apa yang mereka ketahui; jangan ditambah, jangan dikurang. Orang yang ada di luar gua juga jangan dibiarkan masuk. Tidak boleh mencemari pengetahuan orang-orang yang sudah berada di dalam gua. Biarkan orang-orang membatasi dirinya dari mengetahui segala hal. Jika tahu segala hal, maka akan terbunuh. Terbunuh oleh pikiran.
  Aku seperti orang yang baru keluar gua dan tidak dibiarkan masuk lagi. Aku sungguh kecewa terhadap diriku. Kekecewaan yang selalu datang belakangan ini menggerogotiku. Sudah kubilang, aku bisa terbunuh pikiran.
  Setiap hari aku mendengar kakak dan ibu membicarakan hal-hal yang tidak jelas. Mulai dari kepergian Ayah yang membuat ibu agak sedikit gila. Lalu kakak yang selalu mengeluh ingin menikah tapi tak punya uang. Tak jelas semua itu. Duniawi. Akan tetapi diributkan sebagai malapetaka.
         Aku menganggap mereka egois. Anggapan inilah hal utama yang membuatku merasa seperti orang gua masuk ke peradaban. Aku ingin tidak tahu tentang keegoisan manusia. Terlambat. Aku terlanjur tahu hal yang tidak ingin aku ketahui.
  “Bisai, ambilkan makan malam untuk Ayah!” teriak Ibu dari dalam kamarnya yang gelap.
  Bodoh sekali orang ini. Ayah sudah lama mati tapi tetap dianggap ada. Bukankah itu hal yang egois? Membuat apa yang tidak ada menjadi ada. Parahnya, untuk kepentingannya sendiri. Ibu ingin belaian kasih Ayah? Tanpa memikirkan keberadaanku dan kakak? Oke. Mungkin aku tidak enak hati melihat Ibu yang ditinggal kekasihnya. Aku biarkan ia berbuat sesuka hatinya.
  Dengan berat hati aku menuangkan sup hangat ke dalam mangkuk biru kesukaan Ayah. Aku letakkan di atas meja makan. Lalu aku memandang ke dalam mangkuk itu beberapa saat. Ayah juga manusia egois. Berani-beraninya pergi mati meninggalkanku di sini. Bersama perempuan tua gila dan kakak yang suka mengeluh. Ayah egois. Akan tetapi aku tetap mencintai Ayah. Aku pura-pura ikhlas tentang kepergiannya.
  “Makan malam siap, Bos,” laporku kepada Ibu.
  “Yaaaa, thanks, Bisai.”
  Aku kembali menuju kamarku. Ingin rasanya aku menghilangkan keegoisan dari Ibu. Akan tetapi itu artinya aku harus melenyapkan ibu dari muka bumi. Manusia makhluk egois. Melakukan ini dan itu, untuk apa? Untuk dirinya sendiri. Sekecil apapun keegoisannya, untuk diri sendiri. Untuk masuk surga. Sendiri juga.
  Sekarang giliran kakak yang menggangguku. Ia mendobrak pintu dan masuk ke dalam kamarku. Menangislah ia dihadapanku memohon pinjaman uang dari adiknya.
  “Sai, pinjam duit lagi untuk D.P. tenda!”
  Aku diam saja.
  Dia menangis terus. Rambutnya yang panjang terurai di atas kasurku. Bagian bawah matanya hitam karena menangis terus. Tubuhnya menjadi kurus kering; tak pernah makan, disimpan untuk tabungan nikah. Tak tega aku melihatnya. Dompet kubuka dan kukeluarkan uang sejumlah Rp300.000,00.
  “Cuma ada segini.”
  “Gak papa. Udah cukup membantu, Sai!”
  Lalu ia menghapus air matanya. Tersenyum sedikit kepadaku. Pergi lagi untuk bertemu kekasihnya yang ia cintai lebih dari ia mencintai aku dan Ibu.

***

  Jika kehidupanku adalah realisasi dari The Trolley Problem, maka tak ada orang yang bisa kubunuh dan pembunuhan itu membuahkan kebenaran. Anggap saja keegoisan di rumahku adalah kereta dengan rem blong. Tak peduli kakak atau ibu yang aku dorong ke tengah rel untuk menghentikan kereta, kejadian itu tak akan menghasilkan apa-apa. Jika kakak mati, masih ada ibu. Sebaliknya, jika ibu mati masih ada kakak. Tidak ada yang lebih benar. Masih ada sisa keegoisan di rumah. Jika mereka berdua mati maka akulah yang egois. Hebat sekali aku memain-mainkan nyawa manusia layaknya Tuhan. Aku cuma seorang manusia.
  Lalu bagaimana aku bisa menghentikan manusia-manusia ini dari pikiran egois? Pikirku dalam hati. Kenapa juga mereka boleh egois dan aku harus menerimanya? Ini pertama kalinya aku berpikiran seperti itu. Mengapa aku tak pernah egois?
  Sudah kubulatkan tekadku. Jika ingin adu egois, aku akan menjadi pemenangnya. Aku juga akan mulai memikirkan diriku saja. Aku adalah orang paling egois.
  Pernyataan itu langsung aku laksanakan. Ketika Ibu memintaku untuk mengambilkan makan untuk Ayah, aku tak pernah mengambilkannya lagi.
  “Ambil saja sendiri!”
  Ibu sedikit tercengang mendengarnya. Akan tetapi aku tak peduli.
  Kakak juga kembali meminjam uang untuk menyewa jasa boga. Kali ini aku tidak mau meminjamkannya sepeserpun.
  No! Lo kembalikan duit gue yang kemarin-kemarin!”

***

  Aku merasa kotor. Tak enak hati. Tidak tega untuk melakukan hal seperti itu. Mungkin pada dasarnya aku memang orang baik dengan pikiran-pikiran keji. Akan tetapi rumahku menjadi aneh. Aku tak menemukan jalan keluar dari segala keegoisan manusia ini. Jika ingin egois, jadilah egois dengan ikhlas tanpa rasa bersalah. Aku masih belum bisa menjadi manusia egois tingkat tinggi. Tentu keegoisan ini tak akan hilang dari rumah. Suasana rumah kian buruk. Rasanya perabotan di rumahku ikut bermuram durja. Orang-orangnya tak pernah sembuh dari keegoisan. Ibu tetap menganggap Ayah ada dengan caranya sendiri. Kakak juga tetap mengeluh karena tak mendapatkan pinjaman dari siapapun.
  Lalu tiba-tiba aku menemukan cara untuk menghentikan kereta dengan rem blong itu.
Aku ambil seutas tali dan kugantungkan di atas pintu kamar.
Aku ambil kursi dan kutaruh persis di bawah tali.
Aku naik ke atas kursi dan mulai mengikat leherku dengan tali itu.
        BRAKKKKKK
        Kursi kujatuhkan.
        Kakiku berhenti menapak.

***

         Hanya begitu saja cara menghentikan kereta. Caranya adalah dengan melemparkan diriku ke atas rel. Dengan begitu tidak ada lagi yang berpikir tentang kereta. Semudah itu. Cara untuk menghilangkan keegoisan manusia adalah berhenti berpikir tentang semua itu. Tentang gua Plato, tentang keegoisan manusia, tentang kereta tanpa rem. Hilangkan saja semua itu. Aku menjadi orang yang paling egois. Aku tidak harus pura-pura tidak tahu lagi. Aku bukan orang gua.
Aku, Plato tanpa gua.




19 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment