“Kindness in words creates confidence. Kindness in thinking creates profoundness. Kindness in giving creates love.” ― Lao Tzu

August 16, 2012

Penghuni Rumah Kayu

aku melihat dari balik jendela rumahku. melihat rumah kayu yang penuh dengan debu. rumah tua, setua kakekku. masih berdiri tegak dan menyambut indahnya pagi. betapa hebatnya dia, ketika manusia hilang ditelan dunia, ia berdiri di sana, seakan dunia adalah hal yang mudah.

     aku melihat dari balik jendela rumahku. seorang anak belia, kira-kira berumur sama denganku, 10 tahun. anak laki-laki berrambut hitam seperti tinta, bermuka kotor penuh dengan cat. tangannya gemetar memegang kuas. sudah berjam-jam kulihat ia duduk di atas kursinya yang reot, melukis alam. ia tersenyum dari balik jendelanya yang kotor. menatapku yang menatapnya, kubalas senyuman itu. lalu ia kembali melukis alam. hilang pada fantasinya.

     aku menyambut pagi bersama teman-temanku. bermain dengan alam, dan bercengkrama di bawah langit. pepohonan memancarkan bias keemasan, embun pagi menerpa wajah-wajah muda kami. teman-temanku tertawa lepas, bermain seperti layaknya anak angin. tapi anak tinta tidak ada di sana. ia tidak pernah ada di sana bersama kami. kami adalah anak paling bahagia di dunia, namun tidak pernah berani untuk datang ke rumah kayu. gunjingan tentang rumah itu terlalu seram untuk diceritakan kepada kami yang masih belia. kematian, hantu, pembunuhan, tidak jarang disebut-sebut bersamaan dengan rumah kayu itu. dunia telah membuat rumah kayu itu mati akan pandangan. dunia telah membuat anak tinta, si penghuni rumah kayu, hilang dalam keganjilan.

     sungguh disayangkan menurutku. aku yang selalu melihat anak tinta dari balik jendelaku tentu tahu apa yang selalu ia perbuat. melukis, dan mengurus ibunya yang gila. lukisannya selalu penuh dengan warna. sangat berbeda dengan rumah kayunya yang gelap dan mati akan impian. aku senang melihatnya melukis. seperti melukis mimpi. melukis jutaan mimpi. tidak jarang ia memergokiku yang selalu menatap dirinya. tapi ia selalu tersenyum akan hal itu. tidak pernah merasa terganggu. tidak pernah merasa malu.

     ia adalah anak yang baik, kurasa. anak seumuran kami selalu bermain dan melihat indahnya dunia. mengenyam pendidikan, dan piknik bersama keluarga. tapi anak tinta selalu berada di rumah kayu, menemani ibunya. terkadang kulihat mereka tertawa bersama. ia tidak dapat meninggalkan ibunya. meninggalkan ibunya yang akan mati karena kegilaannya itu. anak tinta yang penuh dengan impian mengurung mimpinya untuk seorang yang paling ia cintai. kamu sungguh tegar melawan arus hidup, aku tidak yakin kamu adalah manusia, anak tinta. kamu pasti suatu dewa yang abadi.

-----

     aku melihat dari balik jendela rumahku. anak tinta yang tidak pernah lelap pada malam hari. ketika pantulan cahaya bulan menyapa kami yang tertidur, ia keluar rumah untuk duduk di atas rerumputan. rerumputan di pekarangan rumahnya sungguh tinggi. tidak pernah ada yang mengurusnya, tidak jelas bentuknya. aku sendiri yakin, kalau aku yang pendek ini bisa tenggelam dalam laut rerumputan itu. lalu ibuku akan histeris melihat mayatku yang mati kelaparan karena tidak dapat keluar dari rerumputan. tidak ada yang salah dengan imajinasiku. anak tinta hanya perlu merapikan pekarangan rumahnya.

     malam ini anak tinta memandang berjuta-juta bintang dengan penuh rasa kagum seperti biasanya. terkadang ia akan tertidur sampai pagi di atas rerumputan itu, terkadang juga ia kembali masuk ke dalam rumah kayunya untuk mencegah ibunya membenturkan kepala ke pondasi rumah. namun kali ini, sepertinya ia akan tertidur sampai pagi di atas rerumputan. ibunya sudah terlelap tidur di kamarnya. tertidur di bawah lukisan alam yang penuh dengan impian.

     mata anak tinta berbinar-binar melihat angkasa, tubuhnya menggigil karena dinginnya malam, tangannya mencabut-cabuti rerumputan sampai ke akar-akarnya. lalu ia mencibir. pelan, pelan, pelan, lalu lama-lama menjadi keras. "aku akan segera mati", kudengar. tidak ada jarak antara dia, pagar rumahku, dan kamarku. apa yang ia katakan terdengar jelas. "aku akan segera mati", ulangnya. aku takut mendengarnya. ia tertawa kecil memeluk dirinya. apa ia tertular kegilaan ibunya? apa jutaan mimpi lukisan terkubur dalam kegilaan? aku takut. aku berlari keluar kamarku, menaiki anak tangga,  melewati kamar kakak-kakakku, melewati kamar mandi yang meneteskan air, dan akhirnya masuk ke dalam kamar orang tuaku. "ada apa?", tanya ibuku. ibu paling cantik di dunia. "tidak ada apa-apa", jawabku bohong. namun aku menangis. aku tidak mengerti mengapa aku menangis. ibu memelukku, mengizinkanku untuk tidur di kamarnya malam ini. mengajakku melupakan apa yang telah aku saksikan. hal yang terlalu sulit untuk aku pahami.

     sepanjang malam aku memikirkannya. apakah benar yang baru saja kudengar? anak tinta akan mati? aku mengintip-intip dari jendela lantai dua, kamar orang tuaku. anak tinta masih ada di sana. menatap keindahan angkasa. ia tersenyum, menit berikutnya ia menangis, lalu tersenyum lagi. ia terlihat begitu lelah, namun di saat yang bersamaan, begitu bebas. aku kagum dan prihatin kepada anak itu. mimpi-mimpinya pasti begitu indah. dirinya sendiri begitu indah. aku akan terus mendukungmu anak tinta, kamu tidak boleh mati. aku mendukung dari balik jendela rumahku, dan aku pikir kamu dewa yang abadi. aku mendukungmu untuk meraih mimpi-mimpimu. mimpi yang penuh warna itu.

-----

     berhari-hari aku melihat dari balik jendela rumahku. anak tinta duduk di atas kursi reot, melukis di kamarnya. ia tidak pernah keluar lagi setelah malam itu. ia selalu melukis, membelakangi rumahku. aku tidak dapat memandang wajahnya yang selalu tersenyum ketika melukis. ya, ia membelakangi rumahku. tidak yakin aku harus sedih atau bagaimana. yang jelas, aku rindu akan dirinya. rindu akan senyuman anak tinta. rindu melihat matanya yang berbinar-binar menatap langit. rindu untuk melihat lukisannya yang penuh impian.

     aku terbiasa akan hilangnya anak tinta. kubiarkan ia hilang dalam fantasinya. kubiarkan ia melukis, dan aku melanjutkan hidupku.

-----

     suatu sore yang hening, aku pulang dari sekolah bersama teman-temanku. kami melewati rumah kayu. ia masih berdiri tegak di sana. elok dengan latar belakang langit keemasan. burung-burung terbang dan hinggap di atap rumah itu. pemandangan yang indah. namun, kaget melihatnya, seorang wanita kurus kering keluar dari rumah kayu itu. ia mengenakan gaun malam berwarna putih. berbicara kepada dirinya sendiri, berbicara kepada langit dan bumi, berteriak kepada pepohonan. tidak salah lagi, ini pasti ibu anak tinta. kami terdiam melihatnya. para tetangga yang penasaran juga keluar dari dalam rumah untuk menyaksikan kejadian ganjil ini. wanita itu tidak pernah keluar dari rumahnya. anak tinta selalu menyembunyikan ibunya.

     ia memanggil Tuhan dan Iblis. menari bersama angin. terjatuh bersama hidupnya. lalu ia membakar dirinya sendiri. dimana anak tinta berada? ibunya yang gila keluar menuju dunia, dan ia tidak mencegahnya. wanita itu merasa perkasa, ia menantang langit. menantang rerumputan. dan bara api terus menyala. rambutnya yang hitam terbakar merah layaknya daun gugur. tubuhnya yang kurus kering menahan panasnya api. gaun malamnya yang indah menghilang menjadi debu. ia menatapku layaknya Iblis. matanya terbelalak menahan rasa sakit. bukan rasa sakit yang panas dan membakar. namun rasa sakit yang terkubur pada dirinya. lalu ia bersumpah akan kematian dan kerasnya kehidupan. dan lagi, seperti Iblis, ia tertawa dalam bara api.

     tetangga-tetanggaku terburu-buru menyelamatkannya. kemudian air membasahi dirinya, ia terjatuh kelelahan. selamat. ia baik-baik saja, namun dengan luka bakar. paling tidak, ia tidak mati. dan hilang rasa sakit pada wajahnya. kosong.

     wanita itu mulai menangis. memohon agar Iblis segera memenggal kepalanya. kami terdiam. membiarkan kesunyian mengambil alih segalanya.

     namun aku tidak mempunyai waktu untuk diam. aku berlari melewati rumah kayu dan tetangga-tetanggaku. aku masuk ke dalam rumahku, menendang pintu kamarku dan membuat boneka-bonekaku jatuh ke lantai, aku melakukannya hanya untuk melihat rumah kayu dari balik jendela. kulihat jendela kotor itu. anak tinta masih di sana. duduk di atas kursi reot, melukis membelakangi rumahku. ini sungguh aneh, terlalu aneh untuk diriku. janggal.

-----

    anak tinta sudah mati. ia tidak dapat mencegah ibunya keluar dari rumah kayu. ia sudah mati.

    sungguh ramai sore itu. pemandangan yang tidak biasa. hariku terbiasa hening. namun ramai di kala itu. ambulans dan mobil polisi berdatangan ke rumah kayu. ibu si anak tinta yang gila dan terluka segera diberikan pertolongan dan dibawa ke rumah sakit jiwa. sudah tidak ada lagi yang dapat mengurusnya. ia berteriak-teriak kepada langit, berkata ia melihat anak tinta di angkasa, bermain bersama awan. aku percaya akan hal itu. percaya sepenuh hati. anak tinta pasti sedang bermain bersama awan. menertawakan manusia yang sempit pikiran dan gemar bergunjing.

     mayat anak tinta dibawa keluar. ia sudah mati. anak tinta mati saat melukis membelakangi rumahku. apa yang kulihat dari balik jendela kamarku adalah kerangka anak tinta. ia mati di atas impian-impiannya.

     berpuluh-puluh lukisan alam dibawa keluar. rumah kayu dikosongkan. ia kehilangan penghuninya. hilang selamanya.

     habis sudah cerita tentang penghuni rumah kayu. yang satu hilang akan kerasnya dunia, terpuruk dan tidak tidak dapat bangkit kembali. yang satu hilang pada impian, membiarkan mimpi-mimpinya terbang di angkasa, tertidur selamanya.

     namun untukku, salah satu dari mereka adalah pelukis terhebat sepanjang masa, lebih hebat dari pelukis ternama. seorang teman dekat, lebih dekat dari tulang dan kulitku. dan seorang penjaga impian, menjaga mimpiku supaya tidak mati seperti mimpinya. ya, yang kumaksud adalah kamu, anak tinta.

"aku bermimpi untuk kupendam. aku mewarnai duniaku dengan mimpi. aku mencintai orang mati. orang mati membuatku mati. lelah aku akan kehidupan. meninggalkan warna-warna dan jutaan bintang."

No comments:

Post a Comment