“Kindness in words creates confidence. Kindness in thinking creates profoundness. Kindness in giving creates love.” ― Lao Tzu

November 17, 2014

E Minor, A Mayor, dan Dunia Gila

              Jreng… Jreng… Jreng…
            Lagi-lagi kakak datang ke kamarku dengan gitarnya. Sudah sebulan ini kakak menggantikan dongeng-dongeng malam ibu dengan lagu-lagunya. Aku tidak merasa keberatan karena suara kakak sangat merdu. Setelah membantuku memakai piyama, ia mengantarkan aku ke tempat tidur, menyelimutiku, lalu duduk di samping tempat tidurku dengan gitarnya.
            “Kali ini lagu apa, Em?”
            “Lucy, Kak! Lucy!”
            Kakak tersenyum lalu bersiap untuk memetik gitarnya. Lagu “Lucy in the Sky with Diamonds” mulai ia nyanyikan dengan penuh perasaan. Matanya dipejamkan. Tangannya yang jauh lebih besar dari tanganku menggenggam leher gitar dengan mudah. Sesekali ia menunduk untuk mendengarkan getaran senar dengan lebih jelas. Kakak seperti sedang mengadakan konser tunggal yang ditayangkan di televisi.
            Jika aku ditanya tentang cita-citaku oleh guruku, aku selalu menjawab bahwa aku ingin menjadi kakak. Nilai-nilainya di sekolah selalu membuatku iri. Ditambah ia menjadi murid teladan karena membawa nama sekolahnya ke perlombaan musik tingkat nasional. Kakak bukan tujuan sepele bagiku.
            Kata ibu, aku dan kakak memiliki perbedaan umur yang cukup jauh. Sekarang aku berumur delapan tahun sedangkan kakak enam belas tahun. Hal ini menjelaskan perbedaan tangan kami yang begitu besar pula. Aku belum bisa menggenggam leher gitar seperti kakak.
            Setelah ia selesai memainkan lagu “Lucy in the Sky with Diamonds” ia terdiam memegang gitarnya. Kadang aku melihat ia hanya menatap kosong ke tempat tidurku. Ia baru akan sadar ketika aku memanggilnya.
            “Kak Sigit!”
            “… Iya?”
            “Mainkan lagu lain, dong! Yang belum pernah Emma dengar!”
            ““Mad World” saja, ya?”
            “Ah, tapi itu udah sering!”
            Lagi-lagi ia hanya tersenyum. Lalu kakak mulai memainkan lagu “Mad World” tanpa mendengarkan pendapatku. Lagu itu selalu ia mainkan di setiap malam. Sampai bosan rasanya aku dengan lagu itu. Walaupun aku tidak meminta kakak untuk memainkan lagu itu, ia tidak pernah melewatkan satu malam tanpa memainkan “Mad World”. Anehnya, ia tidak pernah memainkan lagu itu dari awal. Aku hafal lagu itu dari awal karena sering diputar di televisi dan radio. Ia selalu memulainya dari bagian tengah lagu.

            And I find it kinda funny
I find it kinda sad
The dreams in which I'm dying
Are the best I've ever had

I find it hard to tell you
I find it hard to take
When people run in circles
It's a very, very

Mad world, mad world

            Nyanyiannya selalu diulang-ulang di bagian tersebut. Sejujurnya aku tidak paham dengan makna lagu itu. Bahasa Inggris tentu bukan bahasa yang aku kuasai. Aku bahkan baru masuk ke tempat les bahasa Inggris beberapa bulan lalu. Lagipula lagu ini terdengar sangat sedih. Aku hanya ingin merasakan bahagia.
Akan tetapi terkadang aku melihat seperti ada air di ujung mata kakak ketika ia memainkan lagu itu. Tidak jarang pula suaranya bergetar di bagian akhir lagu. Setelah itu biasanya aku hanya keheranan karena merasa tidak tega untuk menanyakan tentang perasaan kakak. Lagu ini pasti memiliki makna yang hebat.
Setelah menyanyikan lagu itu ia langsung keluar kamar tanpa mengatakan apapun. Kadang-kadang ia mencium keningku terlebih dahulu, kadang-kadang pula ia menyelimutiku. Namun tak pernah ada kata-kata keluar dari mulutnya setelah ia memainkan lagu itu. Tak ada, walaupun hanya sepatah kata.

***

“Nggak! Aku nggak mau les piano!”
“Kenapa, Em? Main piano seru, biar kayak Mozart!”
“Mozart siapa? Aku kepingin main gitar kayak Kak Sigit!”
“Tapi Kak Sigit juga bisa main piano, kan?”
“Pokoknya nggak mau!”
Ibu memaksaku datang ke tempat les piano. Aku didaftarkan seenaknya saja tanpa pemberitahuan. Kata ibu supaya otak kanan dan otak kiriku seimbang. Namun aku tak suka bermain piano. Susah. Jariku seperti keriting karena harus memencet tuts-tuts yang jaraknya berjauhan. Warna hitam dan putih tuts juga membuatku pusing. Seperti sedang dihipnotis.
“Emma, kalo kamu udah bisa main piano, Kakak ajarin kamu main gitar!”
“Kak Sigit menyuap aku?”
“Hahahaha, nggak, Em! Kakak membuat perjanjian!”
Aku berpikir sejenak. Tawaran kakak ini terdengar sangat menarik. Ia menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Aku masih ragu. Tampang kakak seperti hendak berbohong. Namun ia langsung menarik tangan kananku dan menjabatnya.
Nah, sekarang udah deal, kan? Ayo, cepat masuk ruangan!”
Sebetulnya aku agak jengkel karena kakak memaksaku menjabat tangannya tapi aku lumayan senang karena akhirnya kakak mau mengajariku bermain gitar. Awas saja jika kakak sampai bohong. Aku tak akan memaafkan dia.

***

Sudah satu tahun sejak aku mulai bermain piano. Aku tak menyesal. Guru-guruku mulai melihatku seperti kakak. Sepertinya musik memang sudah mengalir di dalam darah keluargaku. Aku diikutsertakan ke dalam berbagai lomba musik. Kakak selalu menontonku ketika aku mengikuti lomba.
Sekarang kakak sudah pensiun dari lomba-lomba. Ia bahkan pensiun dari sekolah juga. Beberapa bulan lalu ia mencukur rambutnya sampai botak. Setelah itu ia hanya pergi ke sekolah beberapa kali. Lalu tidak sama sekali. Kerjaan kakak sekarang hanya menginap di tempat temannya selama berhari-hari. Jika ia sedang berada di rumah, ia akan memainkan lagu-lagu untukku di malam hari, seperti biasa.

            And I find it kinda funny
I find it kinda sad
The dreams in which I'm dying
Are the best I've ever had

I find it hard to tell you
I find it hard to take
When people run in circles
It's a very, very

Mad world, mad world

            “Kak Sigit!”
            “… Iya?”
            “Kakak ngelamun lagi.”
            “…”
            “Lagu “Mad World” ini artinya apa, sih, Kak?”
            “Kamu, kan, sekarang musisi. Kamu harus tahu, dong, artinya apa!”
            “Lah, aku, kan, main musik, bukannya paham bahasa Inggris!”
            Akhirnya aku bisa menanyakan arti lagu itu kepada kakak. Walaupun pada akhirnya aku tidak mendapatkan jawabannya. Hanya candaan saja yang ia keluarkan tanpa menjawab.
            “Kamu akan tahu”
“…”
“Sebentar lagi kamu tahu”
Kian hari mukanya kian pucat. Tubuhnya juga biru-biru, seperti habis dipukuli. Apa kakak pensiun sekolah karena di-bully temannya dan dipukuli? Aku tidak tahu. Tidak ada yang pernah memberitahu aku.
“Kak! Kan, aku sudah bisa main piano, nih”
“Iya”
“Katanya Kak Sigit mau ngajarin aku main gitar”
“…”
“Tuh, kan, bohong. Malas, ah, sama tukang bohong”
Aku menyelimuti diriku sendiri sampai menutupi kepalaku. Aku benar-benar kesal karena dibohongi kakak. Pasti dari awal ia malas mengajariku gitar. Ia bahkan tidak menjawab apa-apa ketika janjinya kutagih. Lalu kakak beranjak dari duduknya dan pergi keluar kamar. Betul-betul tidak dijawab dan betul-betul tidak kembali ke dalam kamar untuk mengajariku bermain gitar.

***

Sudah berhari-hari kami sekeluarga menghabiskan waktu di rumah sakit. Tampaknya aku juga dibohongi tentang kakak yang sering menginap di rumah temannya. Rumah sakit inilah tempat ia menginap. Temannya adalah Pak Dokter yang setiap hari mengecek darah kakak.
Leukimia. Itulah penyebab kakak mencukur rambutnya sampai botak. Badannya yang biru-biru juga disebabkan oleh penyakit ini. Kakak bukannya di-bully. Ia hanya sakit. Itu saja.
Sebetulnya aku masih marah terhadap kakak karena ia tidak kunjung mau mengajariku bermain gitar. Kerjanya sekarang hanya tidur dan pergi ke ruang kemoterapi. Tak sempat meluangkan waktunya untukku. Sok sibuk.
Sampai akhirnya kakak mencium keningku di suatu malam. Lalu bapak dan ibu mencium keningnya. Lalu ia tertidur dan tidak pernah bangun lagi. Kakak kabur dari dunia karena tidak ingin mengajariku bermain gitar. Kakak kabur. Aku benci Kak Sigit.

***

Di rumah, ketika semua orang berpakaian hitam-hitam, aku hanya diam di kamarku. Sama seperti Kak Sigit yang selalu diam setelah selesai memainkan lagu “Mad World”. Ah, aku jadi teringat Kak Sigit lagi. Air mata aku hapus dari pipi dan mataku. Sudah cukup lama aku menangis karena kakak kabur.
Aku lihat piano diujung kamarku. Memang tak ada hasrat untuk bermain piano saat ini. Akan tetapi aku penasaran dengan lagu yang biasa kakak nyanyikan itu.
Perlahan aku buka penutup piano. Tuts-tuts itu seakan menunggu untuk dimainkan. Aku lalu mencari-cari chord lagu “Mad World”.

Teng.. Teng.. Tung.. Teng..
And I find it kinda funny
I find it kinda sad

Teng.. Neng.. Neng.. Teng..
The dreams in which I'm dying
Are the best I've ever had

Aku terdiam. Aku peluk piano dan menangis sekencang-kencangnya. Kakak bukan kabur. Kakak ingin terus hidup bersamaku dalam lagu. Kak Sigit jangan pergi. Dunia ini memang gila, Kak. Akan tetapi Kakak tidak boleh pergi.

Em                  A                      Em
And I find it kinda funny, I find it kinda sad
Em                      A                            Em
The dreams in which I’m dying are the best I’ve ever had
Em                 A                           EM
I find it hard to tell you, I find it hard to take
Em                  A
When people run in circles it’s a very very
   Em                     A
            Maaaaaad world
   Em                       A
            Maaaaaaad world

Em                  A                      Em
And I find it kinda funny, I find it kinda sad
Em                      A                            Em
The dreams in which I’m dying are the best I’ve ever had
Em                 A                           Em
I find it hard to tell you, I find it hard to take
Em                  A
When people run in circles it’s a very very
   Em                     A
            Maaaaaad world
   Em                       A
            Maaaaaaad world

Em A, Em
Em A, Em
EmA, Em
EmA, Em

EmA
EmA
Ema
Ema

Emma
Emma
Emma
Emma

Kakak memanggilku dengan nyanyian. Kakak memanggilku tanpa panggilan. Kak Sigit selalu ada dalam lagu, Kak. Emma selalu memainkan lagu itu setiap malam.
Dunia memang gila, Kak,
Dunia memang gila.




16 November 2014

No comments:

Post a Comment